Oleh Noor Aidlon
L |
ek
Dah. Begitu kami memanggilnya. Beliau ini adek kandung ibu mertua saya. Ibu anak
pertama. Lek Dah anak ke empat. Umur lek Dah dan ibu tidak terpaut banyak. Seperti
sepantaran. Sepermainan. Beliau sangat akrab, sejak masih kecil sampai tuanya.
Beberapa
minggu lalu. Kami berkunjung kerumah lek Dah di daerah Senori. Masuk
wilayah Tuban. Tuban kemringat, Tuban pedalaman, kata teman saya.
Dari
Surabaya 3,5 jam perjalanan mobil. Tidak begitu jauh. Tapi tidak juga tidak
begitu dekat. Hanya separo dari perjalanan mudik kami yang 7 atau 8 jam.
Menurut
google map, lebih dekat dan lebih cepat lewat jalur Lamongan – Babat. Saya
ikuti saja arahan mapnya Google itu. Toh selama ini saya belum pernah dibikin
pusing olehnya. Toh perjalanan di pagi hari. Pun kalau kesasar gampang kembalinya.
Perjalanan Surabaya - Babat, saya tidak memerlukan bantuan google map. Saya sudah hafal betul jalan itu. Tahu daerah mana yang biasanya macet dan ruas jalan mana yang banyak lubangnya.
Masuk daerah Widang ( sebelah barat Babat ) saya mulai pasang google map. Saya buta dan tidak tahu sama sekali daerah itu. Saya memerlukan peta panduannya.
Kami diarahkan belok ke kiri dan masuk jalan yang lebih sempit. Saya ikuti saja arah peta. Lurus terus. Jalannya beraspal mulus tapi sempit. Sempit tapi mulus. Kiri kanan jalan berupa bentangan sawah yang sangat luas. Hijau sepanjang mata memandang. Hijaunya tanaman padi yang baru berumur kurang lebih sebulan. Padinya masih belum bunting, dan masih memerlukan banyak pupuk.
Dipinggir jalan beberapa tanaman keras bertengger kokoh. Saya tidak tahu jenis tanaman apa. Bapak/Ibu tani bisa berteduh di bawah pohon itu. Berlindung dari sengatan matahari yang terik.
Saya lihat bapak/ibu tani mulai mentas dari sawah. Ada yang sudah dijalan raya naik sepeda ontelnya. Namun lebih banyak yang naik sepeda motor. Sinar keikhlasan tercermin dari wajah dibawah capingnya. Itulah petani.
Alam telah mengajarinya menjadi orang yang ikhlas, sabar dan tawakal. Tidak jarang padi yang siap dipanen itu lenyap. Diterjang banjir. Ataupun habis dirayah tikus. Namun mereka tetap tegar. Tetap sabar. Belum rezekinya, kata mereka. Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Keyakinan mereka. Itulah yang diajarkan oleh agamanya.
Lalu saya teringat masa kecil. Di desa dulu. Teringat bagaimana nikmatnya makan di tengah sawah, sambil duduk di pematangnya. Meskipun hanya dengan lauk telur dadar. Telur dadar yang dicampur parutan kelapa. Tapi nikmatnya sundul langit. Menurut saya. Saat itu.
Saya pernah bertanya ke ibu, mengapa dicampur parutan kelapa. Biar babar, kata ibu pendek. Babar artinya bisa menjadi banyak dan mencukupi orang banyak. Dengan 2 butir telur bisa dijadikan 6 – 8 porsi. Telur merupakan makanan mewah saat itu. Bagi kami dan tetangga kami.
Jalan desa itu mengarah ke daerah Rengel. Saya sering dengar nama Rengel. Kami punya Pak Lek disana. Sering bertemu di acara pertemuan keluarga. Namun hanya sekali sowan ke rumahnya. Itupun sudah lebih dari sepuluh tahun lalu.
Lepas rengel, belok kanan. Lurus. Jalan itu diapit oleh hutan. Saya tengok sinyal handphone saya yang mulai melemah. Google map itupun sering tidak sesuai. Sering terlambat. Dan sayapun kebablasan.
Saya
minta istri dan adek saya menyalakan juga google map. Sebagai back up. Kalau kalau
sinyal di handphone saya lenyap.
Jalan kecil diantara hutan itu sepi. Lepas hutan ketemu bentangan sawah lagi. Saya lihat tanaman tembakau ada dimana mana. Juga subur. Tampak sudah dipetik daunnya. Perkiraan saya, tembukau ini untuk konsumsi pabrik rokok dalam negeri. Bukan untuk dijual export.
Tembakau untuk pabrik rokok, daunnya tidak perlu lebar. Karena akan dijual dalam bentuk rajangan yang sudah dikeringkan. Tembakau ini akan dipakai sebagai isian ( filler ) rokok.
Ada
satu jenis lagi. Tembakau untuk konsumsi export. Biasanya untuk cerutu. Tembakau
dijual dalam bentuk daun lembaran. Harganya berkali kali lipat dari harga tembakau
filler. Daunnya tidak boleh ada yang lubang. Sekecil apapun. Daunnya harus lentur,
tipis dan berminyak. Kalau digulung tidak robek. Inilah yang akan dipakai
untuk bagian luarnya cerutu. Kita tahu cerutu bagian luarnya terbuat dari
tembakau. Bukan kertas, seperti rokok.
Saya
tengok google map lagi. Tinggal 4 KM lagi - akan sampai. Tapi jalan masih
kecil yang berada di tengah pemukiman pedesaan. Saya melewai rumah yang lagi hajatan.
Pengeras suaranya ditaruh dipinggir jalan. Suaranya keras sekali - mendendangkan Lagu ndang ndut
nan terdengar merdu. Beberapa sepeda motor diparkir di pinggi jalan. Belum banyak jumlahnya. Mungkin
habis dzuhur acara hajatannya.
Keluar dari jalan kecil. Ketemu jalan besar. Saya mengenali jalan itu. Ada masjid di halaman sekolah. Dulu saya pernah sholat disitu. Rumahnya Lek Dah sudah dekat. Berada di seberang pasar Senori.
Ada toko besar. Itulah tokonya Lek Dah. Rumahnya dibelakang toko itu. Besar sekali. Panjang sekali. Rumah itu tampak sepi. Masih dalam suasana duka. Lek Dah baru saja ditinggal lagi oleh salah satu putranya. Dik Udin telah mendahului kami. Semoga diampuni dosanya, diterima amal baiknya dan di lapangkan kuburnya.
Dik Udin, kami pasti akan menyusul. Kalau sampeyan mau duluan, ya monggo ... ? ( NA, 011224 )