Ketika
pertama masuk Pendidikan di Perbankan; saya terheran heran melihat para teller
menghitung uang begitu rapi dan cepatnya. Meskipun ada mesin penghitung uang
yang ada dibelakangnya namun mereka lebih banyak menghitung dengan tangannya.
Ketika saya tanya mengapa tidak pakai mesin penghitung uang saja ? Mereka
menjawab; dengan menghitung pakai tangan; kita akan tahu uang ini palsu atau
tidak ? wah; saya lebih terheran heran lagi. Jadi dengan tangannya mereka bisa
mengetahui uang palsu ? Hebat !!! Namun kami tidak berani tanya lelbih details
kepada para teller karena akan mengganggu kerja mereka. Pertanyaan itu saya
catat dulu dan akan saya tanyakan pada sore hari.
Sore
harinya; pertanyaan itu saya sampaikan kepada cash officer; yaitu pimpinan yang
bertanggung jawab di kassa. Dari beliau saya mendapat jawaban bahwa mereka para
teller telah di latih dan diberikan training mengenai perkasan ( sesuatu yang
berhubungan dengan kassa ). Mereka dilatih cara menghitung uang dengan menggunakan
kelima jari tangan kanannya; sehingga mampu menghitung lebih cepat dan rapi.
Mereka dilatih mengenali uang asli dan yang diduga palsu dengan mengenali bahan
kertasnya; tekstur kertasnya. Dengan meraba kertas uang mereka akan tahu
“keanehan” uang yang diduga palsu. Itu
semua ada ilmunya dan bisa dipelajari, kata cash officernya kala itu.
Kemudian
setelah saya lulus dari pendidikan dan mulai menjadi officer; saya pun mulai
belajar menghitung uang. Dan setelah tahu ilmunya; tahu tekniknya; akhirnya
sayapun bisa menghitung uang dengan kelima jari tangan saya. Dengan gaya diputar
seperti membentuk kipas yang diputar searah jarum jam.
Saya
juga pernah dibuat heran melihat teman saya memasang lampu. Dia pasang lampu
dengan tanpa mematikan aliran listriknya. Saya berteriak mengingatkannya untuk
segera mematikan aliran listriknya. Mendengar teriakan saya dia malah tanya
sambil tersenyum; mengapa harus dimatikan ? Awas kesetrum, jawab saya dengan
masih agak panik. Dengan santainya dia berujar; kalau tahu ilmunya Insya Allah
tidak kesetrum. Listrik itu juga punya sifat. Kalau kita ikuti sifat listrik
tentu tidak kesetrum. Oh.. jawab saya
sambil membandingkan ketika saya memasang lampu. Aliran listriknya dimatikan;
pakai alas kaki; dan bertumpu di meja kayu. Kalau tahu ilmunya tentu akan lebih
gampang hidup ini.
Untuk
tahu ilmu harus belajar. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang langsung bisa.
Semua berawal dari tidak bisa; kemudian belajar dan menjadi bisa. Kalau sudah
bisa dan menjadi biasa akhirnya menjadi mahir dan ahli. Kalau sudah mahir dan
ahli maka semuanya dapat dilakukan dengan seakan akan tanpa mikir. Semua
mengalir. Yang kerja bukan lagi fikiran sadarnya ( consious mind ) namun fikiran bawah
sadarnya ( unconsious mind ).
Itulah
kira kira learning process. Berawal dari tahap tidak tahu bahwa dirinya tidak
tahu. Tahap ini adalah tahap yang paling berbahaya. Karena orang itu tidak
tahu; tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Bawaannya ngotot. Dan tentu tidak
mau belajar karena dia tidak merasa tidak tahu.
Karena
menghadapi persoalan; terlibat masalah; kepentok sana kepentok sini; akhirnya
orang ini sadar bahwa ternyata dirinya tidak tahu. Inilah penemuan mental yang
hebat. Merubah paradigmanya; merubah perilakunya dari ngotot sombong ke
perilaku penyadaran bahwa dirinya bukanlah orang yang paling benar; paling
pintar. Karena sekarang sudah sadar bahwa dirinya tidak tahu; maka secara
otomatis dia akan belajar; cari tahu.
Saya yang menjadi sadar tidak tahu sifat listrik kemudian bertanya; dan
tahu. Sekarang kalau masang lampu tidak seheboh dulu lagi.
Ketika
sudah tahu; dan itu dilakukan terus menerus maka akhirnya kita sendiri lupa
bahwa diri kita sudah tahu. Sekarang kita lupa bahwa kita sudah mampu membaca.
. Kita tidak menyombongkan diri lagi bahwa kita sudah bisa membaca. Nah; pada
level inilah yang disebut dirinya tidak tahu bahwa dirinya tahu. Orang pada
level inilah yang mampu memenuhi pepatah ilmu padi; makin berisi makin
merunduk. Pada level inilah kematangan seseorang tercapai. Pada level inilah
seseorang menjadi bijak.
Justru
pada level ini; seseorang haus ilmu. Dia ingin mencari ilmu yang lebih dalam
lagi. Pada level ini seseorang merasa dirinya seperti gelas kosong yang siap
diisi. Bandingkan dengan orang yang levelnya baru tahu dirinya tahu. Dia merasa
dirinya seperti gelas penuh. Apapun yang berusaha dimasukkan kedalamnya akan
tumpah. Orang dilevel inipun akan sombong. Merasa dirinya paling tahu. Sama
dengan ketika level tidak tahu dirinya tidak tahu.
Ilmu
Tuhan begitu luasnya. Bila pohon yang ada didunia ini dipakai untuk menulis dan
air di lautan sebagai tintanya dan ditambah lagi sebanyak tujuh kalinya;
niscaya tidak akan cukup untuk menulis ilmu Tuhan. Lalu mengapa kita tidak berusaha mempelajari
sebanyak banyaknya ilmu itu.
Dengan
ilmu kehidupan dapat dijalani dengan lebih gampang. Pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat. Produktifitas akan semakin meningkat yang berarti
rezeki semakin meningkat. Rezeki yang semakin banyak memungkinkan berbagi
dengan lebih banyak. Dengan disertai rasa syukur; kehidupan menjadi tenteram;
keluarga bahagia. Keluarga bahagia berefek ke kehidupan kemasyarakatan yang
lebih baik lagi.
Dengan
ilmu pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat. Waktu untuk keluarga dan
kehidupan sosial semakin baik. Rajutan kasih sayang keluarga dan sekitarnya
semakin baik. Kebahagiaan dapat diraih dan dibagikan kepada sekitarnya.
Semoga
……
Mantap
BalasHapusSaya baru sadar saya ibarat gelas yang terisi air penuh
Sulit menerima pendapat orang lain
Bagus sekali tulisannya..
BalasHapus