Setelah melakukan sosialisasi di satu cabang dan makan malam, akhirnya kami kembali ke hotel. Sesampai di kamar badan terasa capai semua. Akhirnya saya memilih mandi membersihkan diri dan melakukan kewajiban sholat isya’ dibanding membaringkan badan di tempat tidur.
Ternyata setelah badan bersih dan menghadap yang Maha Kuasa, badan ini terasa segar kembali. Niat dan godaan untuk terus segera tidur akhirnya terkalahkan dengan keinginan untuk mendown load email, dan browsing beberapa artikel, padahal saat itu jam sudah menunjukkan angka 23.00.
Setelah membuka laptop dan memasang modem, ternyata modem saya rusak. Kemudian saya coba untuk otak atik, tidak berhasil juga, saya coba pakai system restrore juga tidak berhasil. Dan akhirnya laptop saya tutup dan tidur.
Keesokan harinya, saya bawa laptop dan modem saya ke grapari. Saya masuk ke grapari di gedung yang sangat megah, terkesan canggih dan terasa nyaman. Setelah saya diberi nomor antrian, saya berfikir saya harus ngantri lama ( seperti pengalaman rekan saya ). Ternyata saya beruntung karena pas saya masuk, ada customer service yang baru saja selesai melayani salah satu customer.
Saya dilayani oleh seorang pria muda dengan seragam perusahaan itu. Pembawaannya tenang dan ramah, dan penuh percaya diri. Si customer service pria itu yang namanya Haryanto ditemani oleh seorang cewek dengan berbaju putih dan rok berwarna hitam. Saya langsung bisa menebak bahwa si cewek ini adalah seorang trainee. Disamping tidak memakai seragam perusahaan tersebut, dia juga masih kelihatan polos tanpa make up, dan tidak PD.
Hal yang menarik saya adalah ternyata si trainee ini disamping memperhatikan apa yang dilakukan oleh customer service pria, dia juga selalu mengikuti kemana si pria itu pergi. Ketika si customer service ini memerlukan laptop perusahaan – rupanya laptop itu berisi beberapa parameter/tools untuk mendiagnose modem yang sakit – dia tidak menyuruh si trainee untuk mengambilkan di back office, tapi si customer service itu sendiri yang pergi ke back office – tentu setelah ijin kepada saya sebagai customer - dan diikuti oleh si trainee.
Setelah beberapa lama, ternyata customer service tidak berhasil menyelesaikan modem saya, diapun permisi pergi lagi dengan membawa semua perangkat dan sekali lagi diikuti oleh sang trainee. Disini saya melihat perusahaan itu sudah menerapkan apa yang disebut “critical standard” yaitu batasan kapan first handling harus diputus dan kemudian dieskalasi ke yang lebih tinggi. Dia tidak lagi terjebak dengan rasa “penasaran” untuk mengotak atik modem saya, atau dia tidak lagi terjebat dengan “ego” nanti kalau di eskalasi dianggapnya tidak mampu menyelesaikan masalah. Dua hal itulah yang seringkali malah membuat jengkel customer. Dengan meng-eskalasi persoalan itu akhirnya memang saya di refer ke salah satu manager “atasan” nya. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh.
Pertama, si customer service bisa segera melayani customer berikutnya. Disini prinsip ban berjalan mulai berlaku lagi. Bisa dibayangkan kalau customer service tersebut “asyik” mengotak atik modem saya, tentu antrian akan semakin panjang, tentu orang akan menunggu semakin lama.
Kedua, saya ditemui oleh manager, yang tentu saja saya merasa lebih diperhatikan, tidak saja kemudian saya diajak ke ruang “exclusive” dan diberi minum namun juga ditemui oleh pejabat dengan level yang lebih tinggi. Kesan “personalize” menjadi terasa. Saya tidak merasa di “pingpong”.
Setelah berkenalan dan basa basi, akhirnya manager itu mengatakan : “bagaimana pak, apa yang bisa saya bantu ?”. Tyung .... disinilah saya merasa sekali kalau sedang dipingpong. Seandainya didalam eskalasi tadi si customer service menjelaskan persoalan dengan baik dan kemudian si manager mengatakan, mohon maaf pak, bapak telah menunggu cukup lama. Kebetulan system kami sedang ada masalah ( misalnya beralasan ) maka bagaimana kalau modem ini bapak tinggal dulu. Nanti kalau sudah selesai kami akan hubungi bapak. Perasaan dipingpong tentu tidak muncul. Padahal kalimat terakhir itu akhirnya juga dinyatakan ( nanti kalau sudah selesai, kami akan hubungi bapak ). Hanya dengan satu kesalahan sedikit, saya sebagai customer - merasakan hal yang berbeda.
Closing yang menarik dari transaksi ini adalah penawaran. Agar Bapak tidak repot-repot, nanti kalau modemnya sudah selesai kemana kami harus antar Pak. Bapak tidak usah ambil kesini, tapi kami yang mengantar saja, begitu manager tersebut memberikan sweetener.
Andai si customer service yang melayani, apakah penawaran yang didalamnya mengandung satu extra effort bisa di berikan ? Apakah customer service punya wewenang untuk itu ?
Mudah-mudahan cerita ini cukup menginspirasi bagi kita .....
Ternyata setelah badan bersih dan menghadap yang Maha Kuasa, badan ini terasa segar kembali. Niat dan godaan untuk terus segera tidur akhirnya terkalahkan dengan keinginan untuk mendown load email, dan browsing beberapa artikel, padahal saat itu jam sudah menunjukkan angka 23.00.
Setelah membuka laptop dan memasang modem, ternyata modem saya rusak. Kemudian saya coba untuk otak atik, tidak berhasil juga, saya coba pakai system restrore juga tidak berhasil. Dan akhirnya laptop saya tutup dan tidur.
Keesokan harinya, saya bawa laptop dan modem saya ke grapari. Saya masuk ke grapari di gedung yang sangat megah, terkesan canggih dan terasa nyaman. Setelah saya diberi nomor antrian, saya berfikir saya harus ngantri lama ( seperti pengalaman rekan saya ). Ternyata saya beruntung karena pas saya masuk, ada customer service yang baru saja selesai melayani salah satu customer.
Saya dilayani oleh seorang pria muda dengan seragam perusahaan itu. Pembawaannya tenang dan ramah, dan penuh percaya diri. Si customer service pria itu yang namanya Haryanto ditemani oleh seorang cewek dengan berbaju putih dan rok berwarna hitam. Saya langsung bisa menebak bahwa si cewek ini adalah seorang trainee. Disamping tidak memakai seragam perusahaan tersebut, dia juga masih kelihatan polos tanpa make up, dan tidak PD.
Hal yang menarik saya adalah ternyata si trainee ini disamping memperhatikan apa yang dilakukan oleh customer service pria, dia juga selalu mengikuti kemana si pria itu pergi. Ketika si customer service ini memerlukan laptop perusahaan – rupanya laptop itu berisi beberapa parameter/tools untuk mendiagnose modem yang sakit – dia tidak menyuruh si trainee untuk mengambilkan di back office, tapi si customer service itu sendiri yang pergi ke back office – tentu setelah ijin kepada saya sebagai customer - dan diikuti oleh si trainee.
Setelah beberapa lama, ternyata customer service tidak berhasil menyelesaikan modem saya, diapun permisi pergi lagi dengan membawa semua perangkat dan sekali lagi diikuti oleh sang trainee. Disini saya melihat perusahaan itu sudah menerapkan apa yang disebut “critical standard” yaitu batasan kapan first handling harus diputus dan kemudian dieskalasi ke yang lebih tinggi. Dia tidak lagi terjebak dengan rasa “penasaran” untuk mengotak atik modem saya, atau dia tidak lagi terjebat dengan “ego” nanti kalau di eskalasi dianggapnya tidak mampu menyelesaikan masalah. Dua hal itulah yang seringkali malah membuat jengkel customer. Dengan meng-eskalasi persoalan itu akhirnya memang saya di refer ke salah satu manager “atasan” nya. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh.
Pertama, si customer service bisa segera melayani customer berikutnya. Disini prinsip ban berjalan mulai berlaku lagi. Bisa dibayangkan kalau customer service tersebut “asyik” mengotak atik modem saya, tentu antrian akan semakin panjang, tentu orang akan menunggu semakin lama.
Kedua, saya ditemui oleh manager, yang tentu saja saya merasa lebih diperhatikan, tidak saja kemudian saya diajak ke ruang “exclusive” dan diberi minum namun juga ditemui oleh pejabat dengan level yang lebih tinggi. Kesan “personalize” menjadi terasa. Saya tidak merasa di “pingpong”.
Setelah berkenalan dan basa basi, akhirnya manager itu mengatakan : “bagaimana pak, apa yang bisa saya bantu ?”. Tyung .... disinilah saya merasa sekali kalau sedang dipingpong. Seandainya didalam eskalasi tadi si customer service menjelaskan persoalan dengan baik dan kemudian si manager mengatakan, mohon maaf pak, bapak telah menunggu cukup lama. Kebetulan system kami sedang ada masalah ( misalnya beralasan ) maka bagaimana kalau modem ini bapak tinggal dulu. Nanti kalau sudah selesai kami akan hubungi bapak. Perasaan dipingpong tentu tidak muncul. Padahal kalimat terakhir itu akhirnya juga dinyatakan ( nanti kalau sudah selesai, kami akan hubungi bapak ). Hanya dengan satu kesalahan sedikit, saya sebagai customer - merasakan hal yang berbeda.
Closing yang menarik dari transaksi ini adalah penawaran. Agar Bapak tidak repot-repot, nanti kalau modemnya sudah selesai kemana kami harus antar Pak. Bapak tidak usah ambil kesini, tapi kami yang mengantar saja, begitu manager tersebut memberikan sweetener.
Andai si customer service yang melayani, apakah penawaran yang didalamnya mengandung satu extra effort bisa di berikan ? Apakah customer service punya wewenang untuk itu ?
Mudah-mudahan cerita ini cukup menginspirasi bagi kita .....