Belajarlah yang rajin agar kamu pandai. Kalau pandai tidak
bisa di curangi orang ( diapusi wong ).
Itulah kata kata yang selalu
disampaikan Bapak saya ketika saya masih belum masuk sekolah. Kalimat itu
terpatri kuat hingga puluhan tahun.
Bapak selalu menyampaikan pesan itu ketika saya ada di pangkuannya; di
teras rumah kami.
Ketika saya merenungkan kembali pesan Bapak saya. Ada
pelajaran yang bisa dipetik. Pelajaran
yang saya cocokan dengan teori komunikasi saat ini. Saya sangat yakin ketika
itu Bapak belum mengetahui ada teori komunikasi seperti sekarang ini.
Pelajaran pertama, Bapak menyampaikan pesan itu kepada saya
yang masih balita. Pesan yang sangat sederhana, yang sangat mudah dimengerti
oleh seorang bocak balita. Dalam teori
komunikasi dikatakan bahwa penyampaian pesan haruslah disesuaikan dengan kadar
kemampuan penerima pesan. Kalau kita berkomunkasi dengan intelektual, pakailah
bahasa yang canggih canggih. Kalau perlu
tiga per empat kata yang dipakai adalah kata berbahasa asing. Kalau perlu lagi pakailah beberapa bahasa
asing; tidak hanya satu bahasa asing.
Bila berkomunikasi dengan tukang becak, pakailah bahasa mereka. Pakailah
istilah yang biasa mereka pergunakan
sehari hari. Intinya adalah bagaimana mempergunakan bahasa; istilah istilah
yang sesuai dengan pendengarnya. Sering kita lupa bahwa lawan bicara kita
mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda dengan kita; mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dengan kita. Inilah salah satu
faktor penyebab tidak jalannya komunikasi.
Pelajaran kedua. Bapak menyampaikan pesan itu tidak cukup
sekali; namun berkali kali bahkan sampai bertahun tahun. Bapak selalu mengawali
pesan itu dengan satu cerita kehidupan nyata di daerah sekitar kami. Bapak
memberikan contoh kehidupan nyata, kehidupan yang saya kenal baik; kehidupan
para tetangga dan saudara kami. Bapak telah mempergunakan teori experiential
learning. Menurut penelitian, experiential learning sangat effektif penyerapannya. Disampaing itu Bapak melakukan teori
konfirmasi. Selalu diulang; di confirm lagi. Inilah kuncinya pesan itu terpatri
kuat didalam ingatanku.
Pelajaran ketiga. Bapak menyampaikan pesan itu saat saya ada
di pangkuannya. Saat kondisi saya nyaman. Beliau menyampaikan pesannya dengan
santai di selingi cerita cerita. Pesan
yang disampaikan dalam kondisi nyaman akan gampang diterima dan sedikit
dilakukan penolakan. Bapak menyampaikanya dengan menggunakan otak kanannya.
Satu teori yang baru lahir dalam dekade terakhir.
Itulah Bapak. Dengan kesederhanaannya; dengan wisdomnya saat
itu. Saya tidak tahu darimana Bapak mendapatkan ilmu itu. Namun yang jelas
banyak pesan Bapak yang sangat terpatri kuat didalam ingatan saya selama
berpuluh puluh tahun. Ketika saya menuliskan cerita inipun saya masih bisa
merasakan kembali bagaimana Bapak
“memangku” dan bertutur. Sangat nyaman.
Itulah keinginan Bapak saya ketika saya masih balita.
Keinginan seorang tua yang sangat
sederhana. Hanya ingin saya – anaknya menjadi orang pandai yang tidak gampang
di curangi orang.
Saya bandingkan dengan pesan saya kepada anak anak saya saat
ini. Pesan yang terkadang muluk muluk. Pesan yang penuh dengan materialistik.
Kamu belajar agar besuk bisa menjadi sarjana dan kerja dengan gaji gede. Bisa
beli rumah bagus; beli mobil bagus, dsb. Pesan yang terkadang membuat si anak
takut akan kehidupannya.
Semoga menginsirasi.