Ngakunya karena email yang saya
blast, dia mampir kekantor saya untuk sekedar ngobrol. Memang pagi itu saya
mengirim email ke mailing list saya melaporkan perkembangan dana untuk anak
sahabat kami yang sedang berbaring di Rumah Sakit karena penyakit Lupus. Satu
jenis penyakit yang konon belum ada obatnya.
Kami berbicara dan berdiskusi
mengenai bagaimana kita bisa saling membantu satu sama lain. Seperti program
yang barusan kami jalankan, yaitu menggalang dana untuk membantu biaya
pengobatan anak seorang sahabat. Kami
berusaha agar sahabat kami tidak usah memikirkan biaya pengobatannya. Agar dia bisa focus pada mencari pengobatan
yang baik bagi anaknya, tidak perlu memikirkan apakah biayanya ada apa tidak.
Sering keluarga si sakit mengurungkan niatnya untuk melakukan pengobatan yang
terbaik, hanya karena dia memikirkan dari mana uang untuk menutup biayanya.
Pembicaraan akhirnya sampai pada
satu pengamatan bahwa sering kali kita ini gampang memikirkan sahabat kita,
namun sering kali kita lupa atau tidak memperhatikan orang terdekat kita,
saudara kita atau orang tua kita.
Kemudian sahabat saya ini bercerita
bagaimana hubungan dia dengan ibu mertuanya. Biasanya hubungan menantu
perempuan dengan mertua perempuan itu tidaklah mulus. Namun hubungan sahabat
saya yang berjenis kelamin perempuan dengan ibu mertuanya sangatlah baik,
melebihi baiknya hubungan suaminya dengan ibu mertuanya yang nota bene ibu
kandungnya sendiri. Saya itu paling dekat dengan ibu mertua saya, katanya. Saya sering kasih uang atau hadiah dengan
jumlah yang cukup besar bila di lihat dari berapa gaji saya sebulan. Dan suami
saya sering mengingatkan saya, kebanyakan ngasihnya, katanya. Masih banyak
keperluan untuk anak anak.
Saya ini khan beruntung mas,
katanya melanjutkan. Ibu mertua saya sejak kecil ngurusi anaknya yang saat ini
menjadi suami saya. Ngurusi ketika dia
sakit, ngurusi sekolah atau bahkan ngurusi ketika harus buang air. Mendidik
bagaimana menjadi anak dan orang yang baik. Menjadi orang yang penuh kasih
sayang. Lha saya ini, khan dapat
enaknya. Saya ketemu dan berumah tangga ketika anaknya ibu mertua saya ini
sudah mandiri. Dia menjadi suami saya ketika semuanya sudah berjalan. Punya
penghasilan, bisa ngurus diri sendiri bahkan banyak ngurusi saya; menghidupi
saya. Menyayangi keluarga. Bagaimana saya tidak bersyukur ? Wujud terima kasih
saya, ya itu tadi saya harus membalas kebaikan ibu mertua saya dengan apa yang
saya bisa lakukan untuk menyenangkan beliau. Itupun kalau mau hitung hitungan
masih belum seberapa.
Sahabat, dalam kehidupan ini sering
kali kita mencari yang belum kita
punyai. Kita selalu mengejar apa yang ada di depan kita. Begitu sibuknya kita
mengejarnya, sampai kita sering lupa ada orang yang sangat berjasa menjadikan
kita sampai di posisi saat ini. Kita selalu merasa bahwa apa yang kita capai
sekarang ini adalah hasil jerih payah kita sendiri. Bahkan peran Tuhanpun
seringkali dilupakan.
Dalam ilmu coaching disebutkan
bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa melihat kekurangannya
sendiri. Dia perlu mengangkat seorang coach atau pelatih. Apakah pelatih itu selalu lebih hebat dari
yang dilatih ? Tidak. Yang sering kali
justru bila di tandingkan antara pelatih dengan yang dilatih, maka pelatihnya
akan kalah. Lalu mengapa kita perlu pelatih ? Kita perlu orang yang bisa
memberitahukan kelemahan kita. Kita tidak akan mengetahui apa kelemahan dan
kekurangan kita sendiri. Itu yang pertama.
Kedua, pelatih bisa mengarahkan.
Dengan pengalamannya pelatih, maka dia akan bisa mengarahkan apa yang harus
dilakukan. Dengan pengalamannya dia tahu apa kiat sukses orang terkenal dan apa
penyebab orang gagal. Dalam pertandingan olah raga, pelatih juga akan
mengarahkan strategy apa yang harus dijalankan agar bisa mengalahkan lawan. Dia
tahu potensi yang dilatih dan dia tahu medan yang akan di hadapi. Dengan demikian dia tahu apa yang harus
dilakukan oleh yang dilatih. Seperti seorang ibu yang mengajarkan perilaku,
sikap sopan santun anaknya. Dia akan membentuk karakter anak yang kuat, yang
kelak akan sangat dibutuhkan ketika mengarungi perjuangan hidup.
Ketiga, pelatih harus bisa
memotivasi. Tidak ada satupun manusia
yang bisa mempertahankan motivasi tetap tinggi.
Ketika motivasi turun, pelatihlah yang akan membangkitkan. Dia tahu
persis apa yang menjadi sumber energy motivasinya. Seperti seorang ibu, ketika
anaknya menghadapi masalah dan menurun semangat belajarnya, ibulah yang akan
membangkitkan semangatnya. Yang akan membuka cakrawalanya sehingga si anak bisa
bangkit kembali.
Keempat, pelatih harus bisa
mengenali potensi yang dilatihnya. Tuhan menciptakan manusia dengan tingkat
kesempurnaan yang tinggi. Manusia mempunyai potensi yang tinggi. Hanya saja
kita sering tidak melihat potensi itu. Pelatih selalu memberikan target yang
menantang. Target satu tercapai, dia akan menciptakan target baru lagi. He
always raises the bar. Dan kesuksesan demi kesuksesan sekecil apalun ini akan
menumpuk menjadi kepercayaan diri yang kuat dan motivasi yang bertambah besar.
Seperti ibu yang mengajarkan berjalan setahap demi setahap sampai si anak punya
kekuatan, kepercayaan diri untuk tegak berjalan. Dan setelah itu mengajarinya
berlari dan melompat. Setahap demi setahap.
Dengan peran yang begitu hebat,
sering kali nama pelatihnya tidak pernah terkenal, seperti terkenalnya nama si
pemenang. Dan tragisnya lagi, si pemenang terkadang mengabaikan peran
pelatihnya.
Kita sampai di posisi seperti saat
ini pastilah ada orang yang berjasa. Orang itu pasti orang tua kita yang telah mendidik
dan membesarkan kita. Yang jasanya tidak pernah habis bila dihitung. Orang yang
menanamkan karakter kesuksesan kepada kita. Orang yang meneguhkan hati kita,
yang memotivasi kita ketika kita merasa capai mengarungi perjuangan. Orang yang
tidak henti hentinya mendoakan kita.
Kemudian pasangan kita. Yang
menentramkan kita dari penatnya pekerjaan di kantor. Orang yang mengurusi
keperluan kita. Orang yang membangkitkan semangat. Orang yang memberikan rambu
rambu agar kita tidak terpelosok. Orang yang juga selalu mendoakan kita.
Dengannya kita sharing membentuk keluarga yang bahagia. Dia adalah seorang
navigator kehidupan kita.
Senior kita, boss kita di kantor.
Dengan arahan melalui obrolan ringan sampai marah pada hakekatnya turut andil
dalam membentuk karakter dan kompetensi kita. Tidak ada satupun boss didunia
ini yang ingin mencelakakan anak buahnya. Masalahnya cuma di caranya bagaimana
mereka mengkomunikasikan guidance nya kepada anak buah.
Dan tentu masih banyak fihak lain juga sangat berjasa
mengantarkan kita pada posisi dan kondisi saat ini. Pertanyaannya apa yang
telah kita lakukan untuk menghargai jasa jasanya ? Meskipun kita tahu mereka
tidak pernah menuntut apapun atas jasa
jasa yang telah diberikannya.
Mereka itulah coach yang tak terbayarkan, coach yang kontraknya seumur hidup.
Mereka itulah coach yang tak terbayarkan, coach yang kontraknya seumur hidup.
Dan kini rasanya sudah tiba saatnya
giliran kita untuk menjadi pelatih bagi orang lain. Pelatih bagi anak anak
kita. Pelatih bagi generasi setelah kita. Sudahkah kita memulainya ?
Semoga menginspirasi …