T |
ERKADANG. Atau bahkan SERINGKALI, petuah
dari Ustadz yang kita dengarkan itu direfleksikan kepada orang lain. Bukan kepada diri kita sendiri. Misalnya
begini. Ustadz menjelaskan ciri orang munafik itu adalah mereka yang
suka melakukan kebohongan. Mendengar itu terus yang terpikir justru orang lain. Persis si fulan itu; hampir setiap orang dibohongi; umpamanya. Dan jarang petuah itu dipakai untuk instrospeksi diri sendiri. Untuk mengaca ke cermin diri. Kalau toh ada; jumlahnya tidak banyak. Tentu saja termasuk sampeyan.
Beda dengan kalau dokter mengatakan
: gejala covid adalah demam disertai batuk dan pilek. Kebanyakan yang terfikir justru dirinya
sendiri. Koq sama dengan yang saya rasakan ya. Jangan jangan saya kena covid ini. Dan kemudian kita langsung melakukan swap test.
Memang kalau menyangkut fisik; kita
lebih gampang mengenali diri sendiri. Tapi yang non fisik; kita sulit mengenali
diri kita. Seperti halnya mengenali kesalahan kita sendiri. Susahnya bukan
main. Yang paling gampang mencari kesalahan orang lain. Atau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Ini yang paling parah. Dan lagi banyak terjadi saat ini.
I |
TU terjadi pada diri saya pagi itu. Beberapa minggu yang lalu. Setelah makan pagi. Masih dimeja makan. Saya bercerita kepada istri saya. Apa yang diceritakan ustadz Chodirun di Masjid Al Mu'thi. Jumat malan itu. Ustadz Chodirun menjelaskan mengenai keikhlasan. Gurunya dulu menceritakan : Ada seorang petani yang setiap hari mencangkul sawahnya. Dia lakukan dengan tekun. Tanpa mengeluh. Karena memang itulah tugasnya sehari hari. Suatu hari, ketika mencangkul, dia menemukan seekor ikan gabus yang besar. Dengan riang gembira dia bawa pulang ikan besar itu. Istrinya mengolah menjadi masakan yg lezat. Yang disukai oleh suami dan anak anaknya. Keesokan harinya dia menemukan lagi ikan yang besar. Dimasak lagi oleh istrinya. Sudah dua hari itu orang seisi rumah riang gembira memakan masakan ikan yang lezat.
Namun pada hari hari berikutnya Petani itu tidak menemukan ikan lagi. Seperti
awal awal dulu dia mencangkul sawahnya. Tidak
ada ikan yang ditemukan. Pun tidak terfikir akan mendapatkan ikan.
Pertanyaannya : masih giatkah Pak Petani mencangkul sawahnya ? Setelah dia tidak menemukan ikan lagi ?
Kalau petani ini masih giat bekerja. Sama giatnya dengan ketika dia menemukan ikan itu. Berarti Petani ikhlas dalam bekerja. Tidak mengharap imbalan. Tidak mengharapkan mendapatkan hasil sampingan. Karena tugasnya memang mencangkul. Bukan mencari ikan. Mendapat ikan adalah sampingan. Yang memang seharusnya tidak terlalu diharapkan. Begitu juga dengan penceramah. Kalau targetnya menyampaikan kebenaran. Menyampaikan ayat2 Allah. Diberi amplop ataupun tidak, persiapan untuk ceramahnya tetap sama. Semangat berceramahnya tetap sama. Bukan karena amplopnya tebal dia bersemangat sekali. Itulah ikhlas.
Begitu juga dengan profesi lain. Apakah dia strick pada tujuan dan niat awal bekerja atau Sudah mengharapkan juga hasil sampingan. Begitu kira kira yang dijelaskan oleh Pak Ustadz.
LHA itu khan sama dengan kita. Kata istri saya. Dulu tujuan menyimpan uang dibank agar aman. Mengapa sekarang mencari yang bisa memberikan imbalan lebih besar. Minta diberikan harga special lagi. Dibanding bandingkan dengan bank lain. Selisih satu persen saja ributnya bukan main. Pakai mengancam akan pindah ke bank lain segala.
DUER. Kaget saya. Saya tersadar. Jadi yang dikisahkan ustadz Chodirun itu gue banget. Meminjam istilahnya mas Tjatur.
Saya merenung cukup lama. Melihat kedalam diri saya sendiri. Ternyata begitu banyak hal yang bisa menggerogoti nilai keikhlasan saya. Menurut parameter Pak Chodirun itu. Yang munculnya tanpa permisi. Datangnya pelan pelan. Tanpa saya sadari.
DULU, ketika diminta mengajar. Saya selalu menyanggupi. Tanpa bertanya berapa imbalannya. Karena bagi saya; berbagi ilmu adalah bentuk rasa syukur. Bersyukur kepada dzat yang telah memberikan banyak ilmu. Pun kesempatan. Yang tidak mengharapkan balasan. Ketika kemudian mereka memberikan imbalan. Sebagai bentuk penghargaan profesionalitas, kata bang Tommy. Saya terima saja. Pernah diberikan besar. Pernah diberikan kecil. Pernah juga tidak diberikan apa apa. Kecuali ucapan terima kasih. Tidak dipermasalahkan. Terkadang terfikir juga : apa keikhlasan ini tidak dimanfaat orang lain. Mereka mendapatkan banyak, namun yang dikasihkan sedikit. Karena Ikhlas tadi. Itu salah satu gangguan keikhlasan. Pengotor hati. Mampukah hati ini tetap terjaga. Sepanjang waktu. Agar tetap bersih. Tetap ikhlas.
DULU, setelah pensiun saya mau bekerja membantu
temannya teman saya. Juga sebagai rasa
syukur saya kepada Tuhan. Tidak mempemasalahkan imbalan. Pun juga posisi jabatan. Saya menolak halus, ketika mau diangkat menjadi Direktur. Yang penting adalah fungsi saya, bukan posisi saya. Demikian saya menjelaskan kepada owner perusahaan. Masihkah niat itu murni. Semurni saat pertama diucapkan. Masih mampukah menjaga keikhlasan. Dengan penuh kesabaran. Sabar dari segala macam godaan.
Biasanya. Setelah berjalannya
waktu. Setelah banyak mendengar. Setelah banyak
melihat. Setelah banyak mengetahui. Apalagi setelah banyak merasakan. Godaan godaan itu muncul dalam fikiran. Secara tidak
sengaja. Ada yang mampu ditepisnya. Ada yang tidak mampu ditepisnya. Landasan
logika biasanya yang menjadi pembelaan. Bukan hati Nurani. Dan yang lebih
banyak lagi justru mereka yang tidak
menyadari datangnya godaan itu. Yang kemudian mengkambing hitamkan setan. Padahal semua juga tahu; itulah tugas setan. Dari dulu sampai sekarang. Juga Nanti. Tukang goda.
Rupanya NIAT harus sesering mungkin di perbaruhi. Agar tetap murni. Agar tidak terkontaminasi. Seperti halnya Syahadat. Yang harus diperbaruhi. Setiap saat. Agar tetap kokoh dan murni. Agar tidak terkontaminasi dengan kesirikan. Yang paling dibenci Tuhan.
#
NA
# On flight CGK-SUB