Oleh Noor Aidlon
S |
aat itu saya menjadi aspri - asisten
pribadi - Pak Domo, mantan kopkamtib yang paling ditakuti pada masa presiden
suharto dulu. Ketika itu Pak Domo masih beristrikan Bu Sisca. Begitu Bu Titiek mengawali
ceritanya. 2 tahun lalu. Di
Jakarta.
Meskipun non Muslim - mengikuti agama Bu Sisca - setiap bulan Romadlon Pak Domo
selalu ikut berpuasa. Seperti yang dilakukan orang muslim pada umumnya. Pak
Domo juga meminta pegawainya menyediakan makanan berbuka puasa. Untuk para pegawainya di kantor. Pun untuk Pak Domo sendiri. Barangkali, itu pertanda hati Pak Domo masih
terpaut pada Islam. Agama yang sejak kecil dipeluknya.
Pak Domo murtad – keluar dari agama Islam - karena perkawinan. Saat itu cinta Pak Domo pada calon istrinya jauh
lebih besar daripada cintanya kepada Allah. Sehingga beliau memilih membela
istrinya daripada mempertahankan keimanannya.
Memang level iman itu bisa naik
turun. Dan itu dialamai oleh setiap
mukmin - sebutan orang beriman. Termasuk
saya dan panjenengan. Tetapi kalau sudah sampai murtad; itu sudah masuk
kategori celakanya celaka. Ambyar.
Sama seperti yang dilakukan di kantor kantor pada umumnya. Khususnya yang pegawainya
banyak beragama Islam. Saat pertama kali masuk setelah libur lebaran, para
pegawai pada melakukan halal bihalal. Di
kantor. Mereka pada saling berjabat tangan. Saling meminta maaf dan memaafkan. Saling
mengucapkan selamat. Selamat Idul Fitri.
Selamat meraih kemenangan. Setelah berhasil
menunaikan puasa sebulan penuh. Begitu juga yang dilakukan Pak Domo. Ikut ramai
ramai berhalal bihalal. Di kantornya.
Di tengah tengah acara halal bihalal itu. Sambil menikmati hidangan yang
disediakan. Sambil berseloroh Pak Domo mengatakan : saya juga berhak merayakan kemenangan
khan. Saya juga berhak memperoleh predikat orang yang menang khan. Seperti
kalian semua. Karena saya berpuasa sebulan penuh, seperti kalian
berpuasa.
Bu Titiek muda; yang saat itu berada di dekatnya mengatakan : Tidak bisa Pak.
Mengapa tidak bisa, protes Pak Domo. Ibarat orang sekolah ya Pak, kata Bu
Titiek muda. Bapak ikut ujian sekolah, seperti murid lainnya. Bapak berhasil
mengerjakan semua soal dengan benar. Bahkan bisa saja nilai Bapak lebih bagus
dari murid lainnya. Tetapi kalau Bapak tidak terdaftar sebagai murid di sekolah
itu, apakah Bapak berhak mendapat ijazah. Apakah Bapak juga berhak mengikuti
wisuda. Tidak khan Pak. Kata Bu Titik tegas. Tandas.
Mendengar penjelasan itu, Pak Domo tersenyum. Iya, ya. Lirihnya sambil pergi.
Dengan kepala tertunduk. Barangkali itu juga pertanda hatinya masih terpaut kepada
Islam. Agamanya saat kecil. Agama yang
dipeluk bapak ibunya.
Dan pertanda itu terbukti beberapa
tahun kemudian. Pada tahun 1997; Pak Domo minta di syahadat kan kembali. Di kota Malang. Kota kelahariannya. Setelah beliau bercerai
dengan Sisca – istrinya.
Memang betul, salah satu syarat berpuasa Romadlon adalah harus beriman. Orang
beriman disebut Mukmin untuk laki laki. Mukminat untuk wanita. Tanpa syarat itu
tidak sah puasanya. Tidak diterima ibadahnya. Sebagus apapun puasanya. Sebagus
apapun ibadahnya.
Mukmin dan mukminat adalah identitas diri seseorang. Mereka meyakini adanya
Allah, para malaikat Nya, para Rosul Nya, Kitab2 Nya, hari Kiamat Nya dan
percaya atas takdir Nya.
Mukmin dan Mukminat adalah identitas diri. Mestinya identitas itu mampu
berfungsi sebagai thermostat bagi diri sendiri. Meminjam istilah salah satu
motivator di Amerika.
Saya kemudian cari di internet. Apa fungsi thermostat. Menurut internet; Thermostat berfungsi menjaga kondisi tingkat kepanasan/kedinginan tertentu sesuai derajat yang diinginkan.
Dalam mesin mobil, thermostat akan menjaga tingkat kepanasan mesin pada derajat tertentu. Biasanya berkisar 80 – 85°. Ini penting untuk keamanan mesin agar tidak mengalami overheated ( terlalu panas ).
Dalam AC, thermostat akan menjaga suhu ruangan tetap pada derajat tertentu. Sesuai yang diinginkan.
Misalnya AC mobil di atur pada suhu
24°. Maka suhu di dalam mobil ini akan terkondisikan tetap berada pada suhu 24°.
Meskipun suhu di luar mobil panasnya sampai 33° atau lebih panas dari itu.
Ataupun lebih dingin dari itu.
Begitu juga keimanan sebagai identitas diri. Keimanan yang kuat mestinya juga mampu
berfungsi seperti thermostat diri. Menjaga diri tetap pada keimanan. Tidak
terpengaruh kondisi diluar. Kondisi lingkungan. Pun kondisi orang sekitarnya.
Lihatlah ketika orang sedang
berpuasa. Betapa hausnya ketika jam 2 siang. Dalam cuaca terik. Panas sekali. Ada
minuman yang sudah tersedia. Atau sengaja disediakan dan disuguhkan. Mereka memilih untuk tidak meminumnya. Agar puasanya tidak batal. Mereka akan tetap memilih menahan
rasa hausnya. Tidak tergoda meminumnya. Meskipun kebutuhan itu ada. Keinginan
itu ada.
Keimanan yang kokoh menjadi benteng dari gangguan dan cobaan yang datang silih
berganti. Yang tidak habis habisnya itu. Sampai ajal menjemput.
Sekokoh apa bentengnya sekokoh keimanan. Seperti keimanan penjengan sedoyo. ( NA 120424 )