Ketika musim kemarau mau berakhir; yang ditandai dengan munculnya “lintang luku” ( bintang dilangit yang bentuknya menyerupai bajak - dipakai sebagai tanda bahwa musim hujan akan segera tiba ); Bapak saya sudah mulai sibuk mencari bibit padi. Beliau mengambil beberapa karung gabah ( padi kering ) dari gudang; kemudian dijemur. Setelah itu; dipilih butiran padi yang berkualitas baik. Tidak jarang dari sekian karung yang dikeluarkan tidak ditemukan gabah yang layak dibuat benih. Kalau sudah demikian; Bapak saya kemudian datang ke dinas pertanian untuk membeli benih yang berkualitas baik; yang oleh Pak Mantri Tani disebutnya sebagai benih Unggul.
Untuk mencari bibit padi Unggul; Bapak sering memperhatikan betul tanaman padi yang sudah menguning yang akan segera dipanen di setiap sawahnya. Kebetulan lokasi sawah Bapak saya itu berpencar di beberapa lokasi; tidak satu blok. Beliau sering menghitung berapa butir padi pada disetiap bulirnya. Apabila setiap bulirnya terdapat banyak butir padinya; itu berarti padi ini akan menghasilkan lebih banyak. Nah; ini termasuk padi yang bagus. Ini lihat disamping banyak butir padinya; juga padat berisi di setiap butirnya. Ini layak dibuat bibit pada musim tanam tahun depan; kata Bapak saya disatu kesempatan. Tapi rupanya bukan hanya itu kriteria padi yang layak dipakai sebagai bibit. Bapak juga memperhatikan apakah tinggi tanaman padinya sama tinggi; kalau dilihat rata seperti gelaran karpet ? Meskipun menghasilkan banyak butir padi disetiap bulirnya dan setiap butirnya pada berisi; namun kalau tinggi tanaman padi tidak cukup merata; variance ketinggiannya besar; Bapak tidak akan memasukkan padi itu sebagai bibit Unggul. Ketika saya tanyak kenapa ? Penjelasannya cukup simple. Kalau tinggi tanamannya tidak rata; pada njabrik gitu; itu tandanya kualitasnya sudah mulai menurun; dan biasanya kalau dipakai bibit; maka hasil panennya tidak sebagus yang sekarang.
Apabila ada satu lokasi sawah yang padinya memenuhi kriteria bibit; maka ketika padi tersebut dipanen; Bapak akan menyisihkan beberapa karung untuk dipakai sebagai bibit pada musim tanam berikutnya. Bapak menyimpannya terpisah dengan karung karung gabah yang lainnya; biar tidak tertukar. Meskipun sudah disimpan terpisah dengan karung gabah yang lain; Bapak masih juga memberikan tanda/tulisan dikarung yang berisi gabah – bibit Unggul itu.
Begitu ketatnya Bapak didalam memilih bibit padi yang akan ditanam. Saya sering mengeluh ketika diminta untuk mencari bibit padi yang berkualitas. Apakah gabah yang ada ini tidak bisa tumbuh kalau ditanam; Tanya saya setengah protes. Bisa; jawab Bapak saya singkat. Kalau kamu ingin hasil panen padi yang melimpah; kamu harus mencari bibit yang sangat baik; kamu harus mencari bibit Unggul. Karena dengan menanam bibit Unggul inilah; hasil panen akan melimpah. Kalau yang ditanam gabah ini; yang berkualitas “sembarang gabah” jangan harap hasil panennya akan bagus. Kata Bapak saya menjelaskan.
Sekarang saya sedang merenungkan kata-kata Bapak puluhan tahun yang lalu. Kalau pingin hasil panen yang bagus, tanamlah bibit Unggul. Kalau bibitnya kualitas “sembarangan” jangan harap panennya akan bagus. Saya mencoba mengembangkan kalimat itu dengan lebih extrim; agar lebih mudah dicerna. Kalau pingin panen padi; jangan tanam benih jagung. Karena kalau yang ditanam benih jagung; pastilah akan menghasilkan panen jagung. Itulah hukum alam.
Seperti juga pepatah; rajin pangkal pandai; hemat pangkal kaya. Setiap orang juga sudah faham. Sefaham dengan “rahasia sukses”. Setiap orang juga sudah mengetahui; untuk sukses diperlukan kerja keras; usaha yang keras; belajar yang keras; dan berdoa yang keras. Namun sayangnya kita ini; termasuk juga saya; sering lupa. Dengan perilaku yang asal asalan; dengan perilaku kualitas “sembarangan” mengharapkan panen yang berlimpah; mengharapkan sukses yang berlimpah. Bukannya itu ibarat menanam bibit jagung mengharapkan panen padi ? Sepeti buah semangka berdaun sirih – yang hanya ada di dalam lagu.
Semoga menginspirasi …. ( semalang indah, 21.33 wib )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar