Memang
hikmah dan pelajaran itu dapat diperoleh dari mana saja; dimana saja dan kapan
saja. Berikut contoh yang saya alami. Pada
satu minggu sore; sekitar jam 17.00 saya landing di Soekarno Hatta Airport.
Kemudian saya naik taxi dari bandara ke hotel di daerah Slipi. Kondisi jalanan
sangat padat karena memang hari Minggu sore banyak orang yang kembali ke
Jakarta.
Di jalan
Tol Bandara; taxi yang saya tumpangi bisa melaju lumayan kencang. Sopirnya
masih muda, jadi masih gesit. Dia ambil jalan/lajur kanan yang memang relatif
lengang. Sesekali ambil jalan tengah. Sampai di pecahan jalan menuju Tanjung
Priok dan Cawang; kendaraan sudah sangat padat dan jalan menyempit. Kendaraan
pada mulai menurunkan kecepatannya.
Kebanyakan
taxi melakukan pindah jalur. Demikian juga taxi yang kami tumpangi. Dengan
menyalakan lampu sign; taxi ini mulai merapat ke kiri. Kendaraan avanza yang ada di sebelah kiri kami
menyalakan klakson. Saya coba melirik; masih jauh juga; tidak mepet. Namun
supir taxi memilih tidak meneruskan masuk jalur sebelah kirinya, dan memberi
kesempatan avanza untuk jalan terlebih dahulu.
Namun
yang terjadi adalah; sopir avanza dengan membuka kaca dan menyejajarkan
mobilnya dengan taxi ini kemudian berteiak
teriak marah. Praktis kedua kendaraan
yang berjalan lambat ini membuntu jalan. Menghalangi kendaraan dibelakangnya.
Sopir taxi kami memperlambat lajunya; namun kembali sopir avanza mengimbangi
memperlambat juga sambil masih berteriak teriak. Mobil yang ada dibelakang mulai main klakson,
dan akhir avanza sedikit mempercepat mendahulu dan ambil jalur persis di depan
taxi kami. Dan setelah itu memperlambat jalannya. Praktis menghalangi laju taxi
kami.
Melihat
kejadian ini saya berkomentar. Di jaman sekarang koq masih ada yang orang yang
ingin kelahi di jalanan ? Mendengar komentar saya; sopir taxi itu menanggapi
begini. Saya masih muda pak. Mendengar
Bapak Avanza tadi teriak teriak nantangin; hati saya sebetulnya panas juga. Namun saya
malu ngladeninya pak. Saya malu dengan bendera yang saya pegang. Blue Bird. Saya
juga malu; entar saya dikira ikut gila juga.
Sahabat,
sopir taxi yang saya tumpangi ini, umurnya jauh lebih muda daripada sopir
avanza yang teriak teriak. Namun kearifannya sungguh melebihi umurnya.
Kemampuan mengendalikan diri sungguh baik. Dia tidak mau terpancing dengan
stimulus yang dikirimkan oleh orang lain.
Rasa malunya melebihi rasa panas dihatinya. Harga dirinya jauh melebihi emosi yang
menyerangnya. Kata Malu merupakan kata kuncinya dari semuanya.
Kita
bisa merenungkan. Seandainya orang yang mau korupsi ingat rasa malu dan nama
baik dari bendera yang diwakilinya. Niscaya dia akan membatalkan niat
korupsinya. Bendera yang diwakilinya bisa berupa keluarga; bisa berupa
almamater; bisa berupa umur; bisa berupa instansi; bisa berupa title yang
disandangnya dan bisa berupa apa saja yang mestinya dijaga nama baiknya.
Kita
sering melihat dan mendengar, ketika orang tua di sangkakan melakukan korupsi;
si anak kemudian mengurungkan diri. Tidak mau sekolah; tidak mau
bersosialisasi. Mereka malu ternyata
orang tuanya melakukan kejahatan. Bila ketika mau korupsi dia ingat bagaimana
reaksi anaknya; niscaya dia akan mengurungkan niatnya itu.
Mahkamah
Konstitusi ( MK ) menjadi lembaga yang paling banyak di cemooh akhir akhir ini.
Bahkan penyerangan dan pengrusakan saat Majelis Hakim bersidang terjadi. Hal
mana tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal mana mengindikasikan hilangnya
kewibawaan MK. Banyak pengamat
mengatakan ini akibat dari ulah Akil Mochtar. Coba seandainya Akil Mochtar
membayangkan apa yang akan terjadi; niscaya dia tidak melakukan apa yang
dituduhkanya.
Dalam
konteks development dan kinerjapun sama.
Banyak orang yang terpicu motivasinya karena dia khawatir tidak bisa menjaga prestasi dari
keluarganya; dari teamnya. Malu tidak bisa berkontribusi. Di kantor saya sering
meminta para team untuk tidak menjadi value destroyer dari team yang lebih
besar. Tidak menjadi penarik kebawah; pemberat; pengrusak dari performace team. Dia harus berprestasi
paling tidak sama dengan rata rata prestasi team. Kalau semua orang berfikiran
demikian maka prestasi team akan selalu meningkat.
Satu
hari saya menemani mantan Direksi kami. Dia bercerita mengenai keluarga
besarnya. Si A menjadi CEO di perusahaan X; Si B menjadi Komisaris perusahaan Y
dan seterusnya. Semua keluarganya
menjadi orang penting di perusahaan maupun di pemerintahan. Kemudian dia
bercerita; sekarang saatnya menyiapkan anak anak dan cucunya. Kalau orang
tuanya sudah bisa berkiprah di level perusahaan nasional, maka kini kami
menyiapkan anak anak untuk bisa berkiprah di level international. Ini memang
bisa menjadi beban bagi anak anaknya namun itulah harapan keluarga untuk
meningkatkan “value”nya. Dan ini menjadi penyemangat juga bagi anak anaknya.
Saya
teringat suasana di kantor pada tahun 1990 an. Kami para officer sering saling
mengingatkan. Janganlah; tidak enak, massak kita officer melakukan itu.
Bagaimana nanti penilaian dari orang orang ( maksud para anak buah ). Kita malu lah … Kita yang mestinya menjadi
role model; menjadi contoh masak gitu … Itulah beberapa penggalan kalimat
betapa kita sering saling menjaga nama
baik dan maratabat team, martabat corp.
Perasaan
malu ternyata powerfull untuk bisa menjadi pendorong kemajuan atau pencegah
kejahatan. Barangkali itulah sebabnya nabi mengajarkan bahwa malu adalah
sebagian dari iman.
Semoga menginspirasi
……