Hati
hati Nak ya; saiki wis mlebu jaman peteng ( sekarang sudah memasuki jaman gelap
). Begitu nasehat Pak kyai kepada
mempelai berdua yang duduk di pelaminan pada Jum’at siang. Mendengar petuah itu
saya yang duduk di kursi tamu tak jauh dari pelaminan kaget dan naluri keingin tahuan saya langsung bangkit. Saya pasang telinga
dan mata untuk memahami makna nasehat itu.
Pak Kyai, dengan bersarung dan berkemeja batik yang sudah tidak lagi
kelihatan licin itu kemudian menerangkan dalam bahasa jawa kental.
Kalau
kita masuk ke suatu daerah yang gelap, kita harus hati hati. Kita harus
waspada; banyak halangan dan rintangan yang tidak kelihatan. Antara tumpukan batu dan tumpukan kotoran
hewan kelihatan tidak ada bedanya; semua kelihatan hitam. Antara ruang kosong
dan pohon besar tidak kelihatan bedanya; semuanya hitam. Kita baru tahu ada
pohon ketika kita sudah menabraknya. Kita baru tahu ada lubang menganga ketika
kita sudah terperosok kedalamnya.
Kita
sering dikagetkan berita. Ustad korupsi !! Ustad dikamar hotel bersama wanita
yang bukan muhrimnya. Ustad yang di kalangan umum di asosiasikan sebagai figur
yang dekat dengan ajaran agama. Ustad yang dikalangan awam dijadikan panutan.
Ustad yang “di figurkan” sebagai orang suci.
Tidak berani menabrak rambu rambu Allah. Mendengar berita itu kita
seperti menabrak pohon di kegelapan.
Orang
yang bertitle profesor, doktor yang lengket dengan kehidupan kampus, tempat
orang menyuarakan idealisme; tempat orang menyuarakan pemberantasan kejahatan
publik. Ditahan karena korupsi. Kita
lagi lagi kaget seperti terperosok dalam lubang di kegelapan.
Terus
bagaimana memasuki daerah yang peteng dedet ( gelap gulita ). Kita hanya
mengandalkan naluri kita dengan mamasang kewaspadaan yang tinggi dan sambil
berdoa.
Pak
Kyai itu kemudian menasehatkan untuk sering membaca surat al Fatehah. Kalau bisa 100 kali sehari semalam !! Didalam surat
Al Fatehah ada doa memohon kepada Allah agar di tunjukkan jalan yang lurus;
jalanya orang orang yang diberi petunjuk dan hidayah dan bukan jalannya orang
yang sesat.
Sahabat
saya mengajarkan untuk selalu mengasah hati. Hati adalah radar kita. Dengan
hati yang lembut radar kita akan semakin peka. Hati yang semakin peka, akan
mengeluarkan sinyal sinyal peringatan. Ketika kita mau berangkat kerja hati
kita tidak enak, ada yang mengganjal. Dan ternyata dompetnya ketinggalan. Ini
contoh sinyal sinyal peringatan. Tapi alarm ini juga bisa ngambek tumpul tidak
mau bekerja lagi kalau tidak diasah; kalau instrumennya banyak yang karatan.
Begitu juga dengan hati.
Dengan
lebih peduli lingkungan maka hati akan terasah.
Lihatlah dan bantulah orang yang kurang beruntung adalah salah satu
bentuk mengasah hati. Ada saudara; teman
yang sakit kita bantu. Ada saudara yang kurang mampu menyekolahkan anak; kita
bantu. Kalau tidak bisa bantu sendirian,
marilah kita patungan. Sedekah Rp 100 ribu barangkali tidak akan bisa
sepenuhnya membantu; namun bersamaan dengan 100 orang lainnya; maka akan cukup
untuk membantunya.
Itulah konsep sedekah patungan; sedekah rombongan atau makelar sedekah yang akhir akhir ini marak di perkenalkan. Ini sangat bagus. Dan perlu di dorong untuk dikembangkan dilingkungan sekitar kita.
Alhamdulillah di lingkungan kantor kami telah mulai dan sangat besar manfaatnya. Bagaimana di lingkungan anda .... ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar