|
H |
ari itu saya harus presentasi dihadapan Bapak Robby Djohan. President Director kami saat itu. Saya sebagai Branch Manager diminta menyampaikan – bukan lagi strategi menurunkan kredit macet seperti yang sudah sering disampaikan. Kali ini presentasi menyangkut rencana pengembangan cabang kami. Satu cabang yang baru sembuh dari sakit. Sakit karena banyaknya kredit macet.
Noor, tugasmu dicabang itu adalah menihilkan angka kredit dalam Neraca. Itulah misi yang diberikan oleh mbak Winny – selaku Area Manager - ketika menyerahkan surat tugas kepada saya. Surat Mutasi saya tahun 1990. Dulu. Satu misi yang tidak lazim. Tapi itulah faktanya.
Angka-angka kredit di Neraca cabang pada merah semua. Kredit merah itu artinya tidak membayar bunga. Kredit yang tidak menghasilkan bunga sebagai pendapatan perusahaan. Sedangkan biaya yang timbul tetap harus dibayar. Pendapatan tidak ada tetapi biaya harus dikeluarkan. Jadinya setiap bulan merugi terus. Bikin stress pimpinannya. Juga semua karyawannya. Stress karena dikejar kejar oleh boss. Stress karena malu - menjadi beban cabang lainnya. Stress karena tidak ada muka lagi bila bertemu teman.
Saya mulai menyampaikan presentasi saya dihadapan Pak Robby dengan angka angka statistik daerah itu. Kota ini dan sekitarnya. Ini untuk memberikan gambaran umum. Untuk melihat potensi perekonomianya. Potensi pasarnya.
Sebenarnya kota ini termasuk kota besar. Kota nomor tiga di Jawa Timur. Dilihat dari angka Pendapatan Daerah. Pun dari data angka kredit yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Angka itu saya break down lagi lebih rinci – per sector.
Dari situlah kemudian saya bercerita banyak. Apabila sector yang masuk negative list kita itu dikeluarkan, maka angka yang besar tadi menjadi sangat kecil. Potensi ekonominya menjadi sangat kecil bagi kita. Pasar yang bisa kita garap menjadi sangat sempit. Sangat terbatas. Kota ini akhirnya masuk kota dengan kategori potensi perekonomian kecil. Bukan lagi kota dengan potensi perekonomian besar. Bagi cabang kami. Mungkin tidak demikian, bagi bank lain. Yang negative listnya berbeda dengan bank kami.
Saya lihat Pak Robby tercengang. Kaget. Tidak menyangka. Demikian juga dengan Mb Winny. Karena beliau selalu menganggap kota ini adalah kota terbesar ketiga di Jawa Timur. Setelah Surabaya dan Malang.
Saya lanjutkan presentasi saya dengan rencana pengembangan cabang. Lengkap dengan target dan strateginya. Para Pimpinan tetap tidak mengijinkan kami masuk ke sector yang menjadi negative list itu. Resikonya terlalu tinggi. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya. Dan presentasi yang saya siapkan pun mengacu pada asumsi itu. Asumsi potensi pasar kecil.
Saya masih ingat – target laba yang saya sajikan tidak lebih dari Rp 50 juta per bulan. Kalau cuma segitu, lebih baik saya pindahkan kamu ke Surabaya. Kamu bisa menghasilkan laba Rp 250 juta per bulan. Komentar Pak Robby. Memang saat itu cabang cabang di Surabaya berlaba segitu. Yang paling kecil Rp 100 jutaan. Berapa maksimal laba yang bisa kamu berikan, lanjut Pak Robby. Paling Rp 75 juta Pak. Tidak bisa diterima itu Noor. Kata Pak Robby agak gusar. Kalau saya tidak mau dengan angka itu. Apa saranmu. Kejar Pak Robby. Setelah berfikir sejenak, dengan suara agak gemetar saya bilang : Tutup.
Sejak tadi saya menunggu kata itu keluar dari kamu Noor. Kata Pak Robby diluar dugaan saya. Juga peserta rapat lainnya.
Pak Robby memerintahkan mb. Winny dan saya untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menutup cabang itu. Yang baru berumur 4 tahun.
Berbulan bulan kita persiapkan penutupan cabang. Yang ternyata tidak sederhana. Mulai dari bagaimana memikirkan karyawan. Mau dipindah kemana. Bagi mereka yang tidak mau pindah, paket apa yang harus ditawarkan. Sampai bagaimana strategy komunikasi ke Bank Indonesia. Ke Pemda. Ke masyarakat. Itu semua harus dipersiapkan dengan baik agar penutupan tidak membuat gaduh. Ibarat kita mau menangkap ikan. Ikannya tertangkap tapi jangan sampai tempatnya jadi keruh.
Ditengah tengah persiapan, Mbak Winny menginformasikan bahwa cabang tidak jadi ditutup. Cukup di down sizing saja. Tetap beroperasi tapi tidak boleh menyalurkan kredit. Pak Tahija tidak setuju atas rencana penutupan itu. Pak Tahija adalah panggilan dari Bapak Julius Tahija, Presiden Komisaris; yang juga pemilik bank ini. Apa pertimbangan beliau, tanya saya. Dulu, yang meresmikan pembukaannya adalah Ibu Tahija. Tidak enak dengan Ibu.
Tadi pagi, Saya teringat Kembali peristiwa itu. Peristiwa yang sudah sangat lama. Lebih dari 20 tahun yang lalu. Nostalgia itu muncul lagi di kepala, saat saya mendengarkan ceramahnya Gus Baha. Di Youtube.
Dikisahkan ada orang yang mempunyai dosa sangat banyak. Sebanyak 99 kotak. Bila dosa itu dimasukkan kedalam kotak. Besar kotaknya sejauh mata melihat. Sebegitu besarnya. Ketika ditunjukkan jumlah dosanya, orang itu lemes dan takut. Karena pasti akan dimasukkan kedalam neraka.
Namun demi keadilan, dan itulah prosedurnya. Harus dilakukan penimbangan terlebih dahulu. Untuk mengetahui mana yang lebih berat timbangannya. Apakah amal baiknya ataukah dosanya.
Apakah dia punya amal baik, tanya satu malaikat. Ada kata malaikat satunya. Ini; sambil menyodorkan kotak yang sangat kecil. Yang tampaknya tidak berpengaruh kedalam timbangan.
Prosesi penimbangan dimulai. Sembilan puluh sembilan Kotak dosa diletakkan diatas salah satu sisi timbangan. Satu kotak amal baik diletakkan diatas sisi lainnya. Mereka kaget. Terkejut melihat hasil timbangan. Ternyata berat satu kotak kecil itu mengalahkan berat Sembilan puluh sembilan kotak besar. Mereka pada penasaran. Apakah gerangan isi kotak kecil itu. Amalan apa yang seberat itu, yang tersimpan didalamnya.
Kotak kecil itu ternyata berisi nama Allah dan Nabi Nya. Yang selalu diucapkan dan tertanam kuat dalam hati orang itu. Yang dipegang teguh dan di imaninya sampai mati. Nama Allah dan Nabi Nya mengalahkan besarnya dosa yang diperbuatnya. Nama Allah dan Nabi Nya tidak berbanding dengan sesuatu.
Inilah barangkali dalil yang dipakai mereka yang sering mencatut nama orang lain. Untuk mensukseskan proposalnya. Inilah factor Relationship yang bisa menjadi sumber kekuatan. Relasi penguasa biasanya diberikan kemudahan. Hanya berbekal menyebut nama dan menunjukkan foto bersama. Apalagi yang termasuk dalam kerabatnya. Hubungan relasi sering lebih powerfull dibandingkan dengan hubungan formal kedinasan. Di jaman akhir ini.
Nama
Bu Tahija saja mengalahkan logika bisnis. Apalagi nama Allah dan Nabi Nya. Yang Maha Agung dan sangat Agung itu.
Para Kyai menganjurkan banyak banyak berdzikir dan membaca sholawat. Untuk menancapkan Nama Allah dan Nabi dihati sanubari. Sambil berharap mendapat syafaat. Yang akan menyelamatkan kita. Kelak.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar