Seminggu sebelum hari raportannya Ikal dan Arai, Bapaknya begitu sibuk mempersiapkan diri, khususnya mengenai pakaian yang akan dikenakannya pada hari yang sangat penting, hari dimana anak kandungnya dan anak angkatnya mau menerima hasil belajar selama setahun. Maklum raport tersebut harus diambil oleh orang tua atau wali murid.
Bapak mengeluarkan baju safari dengan empat saku yang sebetulnya sudah tidak baru lagi. Baju itu direndam dengan daun pandan supaya bau wangi dan diseterika – meskipun dengan seterika arang - biar licin. Begitu juga sepatu. Sepatu yang belum tentu setahun sekali dipakai itu di jemur, dibersihkan dan disemir. Bapak pada hari H akan duduk di kursi nomor 3, yang artinya Ikal masuk the best 3 dan juga kursi nomor 5 sebagai wali murid dari Arai, yang artinya Arai masuk the best 5. Begitulah kira-kira sepenggal cerita dari novel sang pemimpi oleh Andreas Hirata.
Mengapa Bapak yang dalam kesehariannya tenaga rendahan, begitu serius mempersiapkan diri untuk mengambil raport kedua anaknya. Karena Bapak begitu bangga dan merasa menjadi orang penting di hari raportan tersebut.
Demikian juga yang dialami oleh Istri saya. Setiap jam 04.00 pagi sudah bangun menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan anak dan suaminya. Karena badannya kurang sehat dan tetap juga bangun jam 04.00 kemudian saya tanya kenapa tidak bangun jam 05.00 saja. Jawabannya inspiring sekali. Anak anak itu khan jam 6.00 harus sudah berangkat sekolah, dan dia harus sudah makan pagi jam 05.30. Kalau aku bangun jam 05.00 gak nutut ( tidak terkejar ). Saya khawatir anak2 tidak sempat sarapan pagi, terus di kelas merasa lapar, tidak konsentrasi, terus nilainya jelek, terus ada rasa minder yang akan mempengaruhi perkembangannya, terus ... terus ....... Miris ( takut ) juga saya membayangkan kelanjutan kalimat terus ... terus .... itu.
Dua minggu lalu anak saya nekat ikut acara expedisi untuk International Award for Young People. Saya sebagai orang tua berusaha mencegahnya karena saya lihat anak saya itu sudah 2 minggu kurang enak badan dan saat itu keadaan di Surabaya hujan terus menerus. Namun anak saya nekat dan bersikukuh untuk tetap jalan ikut acara expedisi tsb. Saya lihat dia sudah menyiapkan peralatannya sejak 2 minggu sebelumnya. Dia atur jadual sekolah, belajar dan menyiapkan acara tersebut. Dan akhirnya saya tahu kenapa dia begitu ngotot untuk tetap ikut expedisi di daerah perkemahan didekat Malang. Ternyata Dia adalah ketua panitia. Dia adalah orang penting di acara tersebut. Dia merasa orang yang paling bertanggung jawab atas sukses dan tidaknya acara tersebut.
Dalam buku Berfikir dan Berjiwa Besar juga disebutkan, kalau kita ini merasa menjadi orang penting, maka segala usaha, tindakan dan penampilan kita secara tidak sadar juga akan berperilaku seperti orang penting. Karena itu merupakan manifestasi dari tanggung jawab sebagai orang penting.
Pertanyaannya adalah Bagaimana menciptakan rasa “menjadi orang penting” ? Dialog imajiner ini mudah mudahan dapat menginspirasi kita semua.
Pada acara pemakaman ada seorang pelayat ( P ) berdialog dengan keluarga almarhum ( K ).
P : Sakit apa Pak almarhum ?
K : Kurang tahu mas, badannya panas sekali dan katanya merasa lemas terus.
P : Apa sudah dibawa ke dokter atau Rumah Sakit ?
K : Belum sempat. Rencananya sih kalau sudah gajian dibawa ke dokter. Maklum mas, kami ini hidupnya pas pasan. Mau pinjam tetangga juga gak enak. Toh seharusnya sudah hari Jum’at lalu uang gajiannya turun. Tapi karena ada kesalahan di bank, katanya baru hari Senin besuk ini ditransfer. Dan ternyata hari Minggu ini nyawa anak ini sudah tidak tertolong lagi.
Seandainya kita adalah karyawan bagian transfer yang melakukan kelalaian tersebut dan mendengar dialog itu, apa yang kita rasakan ? Merasa berdosa, hanya karena kelalaian kita itu timbul korban, meskipun meninggal adalah urusan Tuhan.
Sahabat, marilah kita renungkan bersama, seberapa penting peran yang kita lakukan, seberapa besar manfaat yang akan diperoleh dan seberapa besar bencana yang terjadi kalau kita lalai baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Karena “perasaan” itulah yang akan menentukan “keseriusan” kita.
Semoga menginspirasi ......... ( cengkareng, 09.25 ),
luar biasa sebagai bahan / literatur untuk menumbuhkan motifasi diri mas, yang kadangkala motifasi itu pasang surut
BalasHapus