Sebelum berangkat haji, Pak Djono sudah terkena diabet. Karena penyakitnya itu, dia sering buang air kecil. Makanya, kalau ke masjid, sholat berjamaah; beliau memilih posisi yang dekat dengan toilet. Dan Bu Djono dengan setia mendampinginya ambil posisi yang tidak jauh dari posisi Pak Djono, padahal dekat toilet; padahal jauh dari ka’bah; padahal jauh dari tempat yang mustajabah. Padahal, Pak Djono sendiri sering menyuruh Bu Djono ambil posisi di dalam masjid yang lebih bagus, yang lebih afdol untuk beribadah. Namun Bu Djono memilih mendampingi suaminya.
Kami memang sering berpencar ketika di masjid, namun kalau pulang kita janjian waktu dan tempat berkumpulnya. Sehingga berangkat dan pulang bisa bersama sama, jalan kaki lalu mampir makan sama sama.
Pak Djono sering memuji istri dihadapan kami baik ketika ada maupun ketika tidak ada istrinya disitu. Menurut Pak Djono, istrinya itu super sabar, ngladeni. Kalau tidak ada ibunya anak anak, demikian Pak Djono menyebut istrinya, barangkali saya sudah putus asa.
Suatu saat, Pak Djono bilang ke kami, Pak/Bu Noor aku tak sholat diluar masjid ( masjidil haram ) saja, biar kena panas. Aku agak kedinginan ( memang saat itu termasuk musim dingin sehingga sinar matahari tidak terasa panas ). Tolong titip ibunya anak anak. Ajak sholat di dalam masjid. Dan dengan sedikit dipaksa akhirnya Bu Djono mau sholat didalam bersama sama kami. Nggih Pak. Bapak tunggu disini ya. Nanti kami jemput Bapak disini juga ( ditempat Pak Djono nggelar sajadah ). Bapak jangan pindah pindah, kata saya.
Belakangan saya baru tahu, itulah cara Pak Djono agar istrinya sholat di tempat yang mustajabah. Bagaimanapun juga, setiap orang pasti pingin sholat disitu pak, termasuk ibunya anak anak. Kalau tidak tak akal begitu, mana mau ibunya anak anak meninggalkan aku gitu. Demikian beliau buka rahasianya ke saya. Luar Biasa hati Pak Djono kata saya.
Setelah selesai hajipun, kami masih kumpul setiap 2 bulan dalam forum pengajian. Suatu saat ketika saya minta Pak Djono berbagi pengalaman hidupnya di forum pengajian itu, dengan menangis beliau memuji istrinya. Saya sekarang sudah kena stroke, mau apa apa susah, namun ibunya anak anak ini telaten sekali. Setiap saat aku dipijitin, dikelonin, didulang. Gak tahu aku harus bagaimana berterima kasih kepada dia. Saya itu menyusahkan dia terus. saya sering jengkel kepada diri saya, kemudian marah2 sendiri. Dengan masih terisak isak, Pak Djono melanjutkan .. Tapi dia itu sabarnya luar biasa. Tidak pernah marah. Tidak pernah mengeluh… Pak Djono berhenti bicara dan mengusap air matanya. Kami diam, ikut hanyut mendengarkan penuturan beliau.
Setelah beliau cerita pengalaman hidupnya, kemudian kami minta Bu Djono juga cerita. Singkat sekali beliau cerita. Namanya istri, khan memang harus berbakti pada suami. Kalau dirasa ringan ya akan ringan, kalau dirasa berat ya akan berat. Pendek, ringkas, namun maknanya luar biasa.
Saat ini Pak Djono sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Ketika kami kerumahnya, Bu Djono bercerita, saya mengantarkan Bapak sampai akhir hayatnya. Menit menit terakhir, Bapak membisiki anak2nya kalau sudah tidak kuat, namun masih memikirkan saya. Dia selalu melihat saya sambil air matanya keluar. Saya tahu, bapak berat meninggalkan saya. Saya kuatkan hati saya. Saya genggam tangannya dan saya selalu bilang, saya ikhlas Pak. Meskipun sebetulnya saya juga merasa berat, pingin nangis, namun saya tahan. Saya harus kelihatan kuat dihadapan Bapak. Itu yang akan meringankan beban Bapak. Di tengah tengah menuntun Bapak, saya bisikan, saya ikhlas Pak, saya ikhlas.
Saya tahu nyawa bapak bergerak mengalir dari kaki keatas. Sampai di dada berhenti agak lama, saya bisikan lagi saya ikhlas Pak. Sampai di kerongkongan berhenti agak lama lagi, saya bisikan lagi, saya ikhlas Pak. Dan sampai akhirnya diambil semuanya. Saya antarkan betul bapak menuju ke alam kelanggengan. Setelah itu baru saya lari keluar ruangan dan nangis sejadi jadinya.
Selama beberapa bulan terakhir memang kesehatan bapak menurun. Setiap malam saya keloni dan pijitin. Saya bilang orang diam saja juga capek pak, makanya saya pijit. Yang capai mana, saya pijitnya. Begitu setiap malam. Dan setelah Bapak sare, kemudian saya turun dari tempat tidur dan saya tidur dibawah. Agar kalau saya bangun, mau ke kamar mandi, Bapak tidak ikut terbangun.
Pernah suatu saat Bapak bilang, aku sungkan bu, kamu layani aku terus. Saya jawab, aku ikhlas Pak. Meskipun jadi kesetnya Bapak, akupun ikhlas. Saya ikut orang tua saya 17 tahun. Saya ikut Bapak 47 tahun. Bapak mendidik, melindungi dan menanggung kehidupan saya jauh lebih lama daripada orang tua kandung saya. Kalimat terakhir yang disampaikan Bu Djono ini luar biasa dan mengingatkan saya pada hadis yang menyebutkan, seandainya ada makhluk yang boleh disembah, makhluk itu adalah suami. Barangkali itu maknanya …
Sebelum kami pulang, Bu Djono memberikan nasehat kepada kami. Saya kasih nasehat kepada pak dan bu Noor. Saling mengasihi, menyayangi dengan setulus hati. Harus bisa saling menahan diri. Masalah kecil bisa dijadikan besar. Tapi bisa juga masalah besar dijadikan kecil. Hidup ini hanya sekali, kita buat ringan saja; jangan dibuat susah dan menyusahkan.
Begitu nasehat Bu Djono. Insya Allah Bu. Matur nuwun.
Kamipun pamit. Semoga kita bisa mencontohnya ( KSB; 060112 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar