Ketika kami masih kecil sampai
remaja; bapak menasehati kami agar selalu bekerja keras. Kerja keras itu kunci
keberhasilan, kata beliau. Beliau
kemudian memberikan contoh orang orang dikampung kami yang bekerja keras dan
orang orang dikampung kami yang malas bekerja. Mereka nyata benar bedanya. Yang
pekerja keras – hidupnya kaya berkecukupan; sedangkan yang malas – miskin
berkekurangan. Jadi kalau pingin kaya harus kerja keras. Biasakan sejak sekarang; sejak masih kecil.
Kalian harus rajin belajar; rajin sekolah dan rajin membantu orang tua. Itu cara membiasakan kerja keras. Kata bapak
berulang kali.
Ketika kami sudah mulai kuliah;
rupanya kunci sukses sudah bergeser.
Para dosen menekankan harus kerja cerdas ( smart working ). Dengan kerja
cerdas; untuk memperoleh hasil yang sama
diperlukan waktu; usaha dan pengorbanan yang lebih kecil. Jadi mereka yang bekerja dengan cerdas akan
mempunyai waktu luang lebih besar. Waktu luang itu dipergunakan untuk belajar
lagi sehingga lebih pintar lagi. Waktu
luang bisa dipergunakan untuk riset; inovasi sehingga lebih memudahkan orang
dalam bekerja. Demikian seterusnya.
Dengan bekerja lebih pintar kalian juga bisa menghasilkan lebih banyak
dalam durasi waktu yang sama. Demikian dosen kami menekankan pentingnya kerja
cerdas.
Kalau ditelusuri lebih dalam lagi,
ternyata pengertian dan makna kerja mengalami satu evolusi. Menurut tulisan Pak
Nuh, mantan mendikbud ada beberapa hal.
Pertama, kerja itu yang penting
sibuk, tidak nganggur. Persis dengan yang diperintahkan ibu saya ketika saya
masih kecil. Siapa yang paling sibuk akan mendapatkan sanjungan. Akan menjadi role model, panutan bagi
masyarakat sekitarnya. Orang yang
mempunyai fisik kuat; yang tahan kerja keras siang malam dianggapnya telah
mengantongi tiket sukses. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah yang kerja keras tiada henti pasti menghasilkan lebih
banyak ? Jawabannya tentu belum pasti. Namun karena saat itu perkembangan ilmu
pengetahuan dan manajemen belum cukup canggih sehingga belum ada parameter produktifitas. Jadi yang
diukur adalah seberapa sibuk orang itu. Seberapa keras orang itu bekerja.
Kedua; kerja itu diukur dari hasil
yang didapat. Produktifitaslah ukurannya.
Dengan semakin majunya kehidupan, kemudian timbul berbagai macam
kebutuhan baru. Kebutuhan baru itu memerlukan biaya, memerlukan uang yang lebih
banyak. Jer basuki mowo beo, kata orang Jawa.
Pada jaman ini manusia sukses sudah diukur dari apa yang dia punya. Mulailah mereka berlomba lomba untuk
menghasilkan lebih banyak agar dapat memiliki lebih banyak.
Sumber daya saat itu masih
berlimpah. Namun pengetahuan dan manajemen belum berkembang, atau bahkan belum
dimanfaatkan sama sekali. Bila ingin
meningkatkan produktifitas yang mereka lihat hanyalah dari sisi sumber daya.
Dari sisi input. Kalau dengan 1 ha lahan
mereka dapat menghasilkan 5 ton padi, maka kalau mereka menginginkan
menghasilkan 10 ton padi, mereka harus menanam padinya pada 2 ha lahan.
Contoh lain. Bila seorang staff
dapat mengerjakan 150 transaksi, maka ketika transaksi meningkat menjadi 200 –
300 item, mereka menuntut untuk menambah seorang staff lagi. Hal ini tidak akan menjadi masalah selama
resorucesnya berlimpah.
Hal ini juga belum menjadi masalah
selama tidak ada pesaing. Hal ini tidak
ada masalah selama tidak ada tuntutan dari fihak lain. Mereka bekerja apa
adanya. Belum dituntut oleh pasar yang menghendaki harga lebih murah.
Ketiga, melalui pendekatan output. Mereka
juga mengukur produktifitas. Hanya Focusnya adalah pada sisi output, bukan sisi
input.
Dengan semakin terbatasnya
resources, dengan semakin banyaknya tuntutan pasar, kita dipaksa untuk lebih kreatif. Lebih
banyak menggunakan pengetahuan dan teknologi. Lebih banyak mempraktekkan ilmu
manajemen. Pada era ini sudah banyak
dituntut efisiensi dan effektifitas. Produktifitas sebagai hasil dari output
dibagi dengan input harus selalu meningkat. Peningkatkan output tidak harus disertai
dengan penambahan input dan penambahan sumber daya.
Peningkatan output dilakukan
melalui perubahan proses, melalui perubahan cara kerja. Pengetahuan, teknologi
dan manajemen akan mempengaruhi cara kerja; cara memproduksi, dan lain
lain. Dengan demikian efektifitas
penggunaan sumber daya dapat di optimalkan.
Sebagai contoh, bila dengan 1 ha
lahan dapat dihasilkan 5 ton padi. Maka untuk menghasilkan 10 ton padi tidak
harus mempergunakan lahan seluas 2 ha. Caranya adalah dengan intensifikasi.
Dengan mempergunakan bibit unggul yang umurnya pendek namun mampu menghasilkan
lebih banyak. Dengan mempergunakan pola tanam yang baik; pemupukan dan
pemeliharaan yang baik dapat menghasilkan padi yang lebih banyak. Dahulu ketika
saya masih kecil, Pak Tani hanya akan bisa menanam 2 kali dalam setahun. Saat
ini bisa 3-4 kali tanam dalam setahun. Dahulu, padi hanya dapat dipanen setelah
berumur 4 -5 bulan, saat ini hanya 3 bulan sudah bisa di panen. Dulu hanya
mengandalkan air tadah hujan, sekarang dengan mempergunakan sistem irigasi yang
memungkinkan pengaliran air kesawah dapat dilakukan sepanjang waktu.
Contoh lain. Dengan mempergunakan
komputerisasi, transaksi dapat diproses dengan jauh lebih cepat.
Contoh lain yang saya lihat di
Bank2 multinasional. Mereka menerapkan sentralisasi pemrosesan transaksi secara
worldwide. Sedunia diproses di satu tempat. Watu kerja antar negara berbeda.
Cabang di satu negara tutup, cabang dinegara lainnya baru buka. Konsekwensinya
adalah diterapkannya sistem shifting karyawan. Bisa dibayangkan, kalau normal,
kita akan mempergunakan gedung dan komputer sewa selama 8 jam per hari. Bagi mereka
gedung dan komputer sewa dipergunakan selama 24 jam per hari. Jelas sekali
mereka akan mendapatkan 3 kali lipat lebih effisien dalam biaya komputer dan
gedung dibandingkan dengan normalnya.
Freeport dan perusahaan tambang
lainnya mendapatkan kontrak kerja selama 20
atau 30 tahun. Mereka akan memanfaatkan waktu itu seoptimal mungkin.
Tidak boleh ada satu detikpun waktu terbuang sia sia. Harus selalu menghasilkan.
Ketika saya berkunjung ke daerah tambahnya; saya melihat pekerja, truk pengangkut
hasil tambang bekerja tiada henti. Mereka bekerja 24 jam sehari, 7 hari
seminggu. Pekerja dan truk dimonitor
secara elektronic. Bila ada truk yang berhenti terlalu lama akan ketahuan dan
akan ditanya apa masalahnya. Begitulah mereka memanfaatkan masa kontrak sebesar
besarnya. Tidak boleh sedetikpun yang unproductive.
Keempat, yang disebut dengan impact base. Pendekatan dampak. Yang terpenting
adalah dampaknya. Sebagai contoh, kalau
pemerintah berhasil membangun jalan baru on time dengan biaya dibawah jumlah
yang dianggarkan. Sampai disini kita hanya bicara output based. Pertanyaan
selanjutnya adalah apakah dengan jalan baru ini bisa meningkatkan kemakmuran
rakyat sekitarnya ? Ini adalah impact based.
Pada perusahaan jasa seperti
perhotelan, perbankan, airport dan lain lain. Setiap memasuki bulan Romadlon
mereka menghias front office nya dengan hiasan ketupat, patung unta dan
accesoris yang lainnya. Ini bagus. Hanya pertanyaannya adalah apakah hiasan
tersebut bisa membuat nasabah menjadi lebih senang ? Apakah hiasan tersebut
bisa menaikkan omset perusahaan ? Kalau tidak ada impactnya terhadap
perusahaan, maka semua usaha itu tidak ada gunanya. inilah pertanyaan impact base.
Kita banyak melakukan perubahan dan
pembaharuan. Kreatifitas dan inovasi banyak
sekali dilakukan. Kita bisa banyak cerita mengenai ini. Bisakah kita menerangkan berapa rupiah impact
yang dihasilkan dari itu semua ? Berapa penghematan yang diperoleh ? Berapa
biaya tersembunyi ( hidden cost ) yang bisa dihilangkan. Berapa rupiah yang
dihasilkan oleh bisnis baru, dsb. Itulah pertanyaan pertanyaan impact base.
Teman saya selalu berpesan bahwa
apapun yang kita lakukan haruslah bersandar pada azas manfaat. Banyak proyek beliau yang awalnya tidak banyak memberikan profit bagi perusahaan. Tapi proyek tsb tetap dilanjutkan dan di
manage dengan baik. Beliau selalu
mengatakan kepada saya; biarlah saya tidak banyak untung dari proyek ini, namun
proyek ini bermanfaat untuk orang lain.
Dari proyek ini dapat memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Itu sangat penting. Kata beliau. Saya menyebutnya sebagai spiritual impact
base.
Kemarin saya sempat makan siang
bersama beliau. Ternyata proyek yang awalnya berlandaskan pada spiritual impact
base, saat ini sudah banyak memberikan keuntungan bagi perusahaannya.
Keuntungan kotor per bulanya sudah mencapai tidak kurang dari Rp 800 juta.
Starting from spiritual impact base
menjadi spiritual and financial impact base.
Saya teringat satu ajaran; siapa yang suka membantu memudahkan makhluk
Nya; dia akan dibantu dan dimudahkan oleh Nya.
Semoga menginspirasi..
Sangat menginspirasi M. Aidlon, menambahkan aspek spiritual di ranah finansial tentu akan membantu mewujudkan work-life balance.
BalasHapus