Oleh Noor Aidlon
S |
aya
termasuk orang yang paling banyak bertanya di ruang praktek dokter. Mulai dari
sakit apa. Apa penyebabnya. Apa dampak jangka panjang terhadap tubuh. Apakah
ada pantangan makanan. Sampai pada apa yang harus dan tidak boleh dilakukan.
Memang
ada dokter yang tidak suka ditanya detail seperti itu. Tapi ada
juga yang berkenan dan bahkan
menanggapi dengan baik. Salah satu dokter yang menanggapi dengan sangat baik
itu adalah dokter Fuad.
Dokter
Fuad selalu menjelaskan dengan sangat rinci. Lengkap dengan istilah istilah teknis
kedokteran. Terkadang sampai digambarkan anatomi tubuh. Di
atas kertas resep. Beliau berusaha menjelaskan kepada saya - pasiennya. Agar
faham. Namun tetap saja saya tidak faham. Karena memang saya tidak pernah
belajar ilmu kesehatan. Ilmu saya tidak nutut ( sampai ) untuk memahami istilah
kedokteran yang ndakik ndakik. Yang disampaikan dokter Fuad itu.
Begitu
pula dengan Prof DR. dr Indropo Agustni ( Alm ). Dokter spesiali kulit. Beliau
menjelaskan dengan menunjukkan gambar yang ada didalam buku literaturnya. Yang
ditumpuk di dekat meja prakteknya. Dokter kulit itu gampang. Hanya niteni ( memperhatikan ) gambar gambar ini
saja. Katanya suatu ketika, sambil menunjukkan beberapa gambar dibuku literatur
itu.
Meskipun
dibukakan banyak gambar, tetap saja saya tidak faham. Ilmu saya tidak nutut
untuk memahami gambar dan istilah kesehatan kulit itu.
Itu
adalah kesalahan mendasar dalam berkomunikasi. Yang sering tidak disadari. Yaitu
menganggap teman bicara mempunyai ilmu dan pengetahuan yang sama dengan
dirinya. Yang setara dengan dirinya. Inilah yang menyebabkan proses komunikasi
tidak berjalan dengan baik. Yang menimbulkan salah faham itu.
Pakailah bahasa yang dimengerti oleh teman bicaramu. Kalau kau berbicara dikampung ini; ya pakailah bahasa Jawa. Kalau kau pakai bahasa Indonesia, malah akan bikin orang lain bingung. Tetapi kalau kau bicara dengan orang Kota sana, bolehlah pakai bahasa Indonesia. Mereka akan faham semua. Begitu kira kira nasehat seorang ustadz dikampung saya. Zaman saya masih remaja. Dulu.
Ilmu itu pula yang dipraktekkan oleh Pak Karyantho, teman jalan pagi saya.
Setelah purna tugas dari kantor Dikbud
Jawa Timur, beliau mengajar di Untag Surabaya. Materi yang diajarkan adalah
Kebijakan Publik. Satu materi yang sudah biasa diajarkan ketika beliau masih
dinas dulu. Bedanya. Dulu yang diajar adalah para Kepala Sekolah. Yang sudah
lulus Sarjana, maupun Pasca Sarjana. Sekarang.
Yang diajar adalah mahasiswa. Yang masih belum lulus Sarjana. Yang masih nol
putul pengetahuannya mengenai kebijakan publik.
Terpaksa saya harus men down grade diri saya Pak, katanya. Saya harus menyampaikan dari level dasar. Level orang awam. Saya harus mempergunakan bahasa yang paling sederhana. Menghindari istilah istilah teknis kedinasan. Yang pasti tidak dimengerti dan difahami oleh mereka.
Memang. Agar bisa bersambung;
sesuatu itu harus setara. Satu level. Satu frekuensi, dalam istilah radio. Kita
hanya bisa menangkap siaran Suara Surabaya di frekuensi 100.00 FM. Selain frekuensi itu tidak akan nyambung.
Barangkali logika ini pula yang bisa dipergunakan untuk menjelaskan mengapa Tuhan tidak bisa dilihat oleh makhluk Nya. Walau sekelas Nabi sekalipun.
Panca indera ( termasuk penglihatan
) manusia sangat terbatas dan hanya mampu menjangkau sesuatu yang terbatas
pula. Sedangkan Allah adalah Maha
segalanya. Sesuatu yang tidak terbatas. Tidak mungkin sesuatu yang mempunyai
keterbatasan bisa menjangkau sesuatu yang tidak terbatas.
Kemampuan manusia untuk melihat mempunyai banyak keterbatasan. Obyek yang terlalu jauh tidak bisa dilihat. Obyek yang terlalu dekatpun tidak bisa dilihat.
Manusia hanya mampu melihat dengan bantuan cahaya. Terlalu sedikit cahaya ( gelap ) tidak bisa melihat. Terlalu banyak cahaya ( silau ) juga tidak bisa melihat.
Nabi Muhammad pernah ditanya oleh istri
beliau – Aisyah. Ketika Mi’roj ke langit.
Ketika menerima perintah sholat itu.
Apakah baginda bisa melihat wajah Allah ? Beliau menjawab : Allah itu
cahaya diatas cahaya. Terang sekali; menyilaukan. Bagaimana aku mampu
melihatnya.
Nabi Musa; ketika berkehendak untuk melihat Allah. Beliau disuruh pergi ke bukit Tursina. Apa yang terjadi. Gunung gunung di bukit itu hancur dan Nabi Musa pun pingsan. Allah Maha Besar. Yang tidak akan terjangkau oleh kemampuan panca indera manusia. Mahluk yang kecil. Mahluk yang lemah.
Bagaimana mungkin indera penglihatan dari mahluk yang sangat kecil ini bisa menjangkau dzat yang Maha Besar.
Begitu koq masih ada yang tidak
percaya keberadaan Allah. Hanya karena dia tidak bisa melihat Nya. Ini bukan
ngomongin panjenengan lho.
#NA
#KSB 110323
Tidak ada komentar:
Posting Komentar