Oleh:
Noor Aidlon
S |
alah
satu senior saya di UGM berpendapat bahwa Pilpres ini jangan melibatkan agama.
Jangan melibatkan Tuhan. Nanti kalau ternyata jagonya kalah akan menjadi malu.
Menjadi tidak enak. Sudah melibatkan Tuhan koq kalah. Dekengannya Tuhan koq
kalah. Demikian kira kira argumentasinya. Tentu pendapat seperti itu didebat
sengit oleh kawan lainnya.
Perdebatan itu mengingatkan saya pada cerita kaisar Heraklius dari Romawi.
Heraklius
naik menjadi kaisar setelah pasukannya berhasil membebaskan Romawi dari
cengkeraman persia.
Kemenangan
Romawi atas Persia disambut gembira oleh kaum Muslimin. Bukan karena Romawi sudah
masuk Islam, tetapi karena rakyat Romawi penganut agama samawi. Tuhannya bukan
benda, seperti berhala. Tapi Tuhan yang tidak tampak ( ghoib ). Mirip dengan
agama dan Tuhannya kaum muslimin.
Sebaliknya, kekalahan Persia disambut kesedihan oleh kaum musyrikin. Karena mereka sama sama menyembah benda ( berhala ).
Sebagai
orang Romawi, Heraklius sering mendapat cerita yang berasal dari kitab Injil
dan Taurat. Dia faham betul ciri ciri seorang Nabi. Pun dia tahu, akan lahir Nabi
baru. Itulah yang tertera didalam kitab sucinya.
Belum lama diangkat menjadi kaisar, Heraklius menerima surat dari Muhammad yang mengaku sebagai Rosul Allah. Isi suratnya : mengajak Heraklius dan pengikutnya untuk masuk Islam, menyembah Allah dan jangan menyekutukan Nya.
Meskipun
Heraklius sudah mengetahui akan lahir Nabi baru, namun dia ingin melakukan
validasi - pengecekkan, apakah Muhammad - penulis surat ini – benar benar
seorang Rosul.
Untuk
keperluan itu, Heraklius kemudian meminta para pembesarnya untuk mencari orang
yang berasal dari daerah Arab yang bisa diminta keterangan dan kesaksiannya.
Bertemulah
para pembesar itu dengan Abu Sufyan yang sedang memimpin kabilah dagang ke
Romawi. Abu Sofyan berasal dari suku Quraish - Mekah. Satu suku dengan Nabi
Muhammad. Kenal betul dengan Nabi Muhammad. Bahkan pernah memeranginya.
Dihadapan
para pembesarnya, Heraklius bertanya kepada Abu Sufyan. Dan memintanya menjawab dengan
jujur.
Saat
itu sebetulnya Abu Sufyan ingin berbohong namun dia urungkan niatnya karena
takut ketahuan. Takut dihukum mati.
Dari wawancara itu, Heraklius menyimpulkan bahwa Muhammad - penulis surat itu - memenuhi ciri ciri kenabian seperti dibawah ini.
Dia berasal dari keturunan terhormat, dikenal berbudi pekerti yang baik. Tidak berpernah berdusta, bahkan sejak dari kecil mendapat gelar Al Amin ( yang dapat dipercaya ). Pengikutnya banyak berasal dari kalangan masyarakat lemah. Dan tidak ada satupun pengikutnya yang murtad.
Ini pertanyaan terakhir Heraklius. Bagaimana kalau berperang, apakah selalu menang atau selalu kalah ? Dijawab Abu Sufyan, terkadang dia yang menang, terkadang kami yang menang.
Itulah ciri Nabi Allah. Kalau berperang tidak selalu menang. Tapi bisa juga mengalami kekalahan.
Ini
yang sering ditafsirkan salah oleh kita. Kita menganggap kalau umat Nabi
kekasih Allah itu pasti selalu diberi kemenangan ganda. Kemenangan double. Menang di dunia dan menang di
akherat.
Namun tidak selalu
demikian. Nabi saja pernah kalah dalam berperang. Nabi saja pernah kelaparan.
Nabi saja pernah kekurangan. Memang Nabi sering menang double, tetapi terkadang juga hanya menang single.
Demikian juga dengan kita. Umatnya pasti selalu mengalami kemenangan, meskipun tidak harus selalu menang double. Paling tidak menang single. Umat Nabi selalu menang di akherat. Mereka
menganggap menang di dunia hanyalah bonus saja. Kemenangan di dunia adalah jembatan
untuk menuju kemenangan akherat.
Inilah yang membedakan umat beriman dan tidak beriman. Umat beriman selalu diajarkan memakai parameter sukses di akherat. Sedang yang tidak beriman berstandarkan sukses duniawi.
Menang kalah; sukses gagal adalah ujian. Bagi yang beriman. Ketika Tuhan memberikan kemenangan apakah mereka bersyukur.
Apakah kemenangan dunianya akan dipergunakan untuk membangun kebaikan akheratnya. Atau; kemenangan di dunia justru merusak kehidupan akheratnya. Kelak.
Sebaliknya,
ketika ditakdir kalah, apakah akan bersabar dan lebih mendekatkan diri kepada
Nya sambil introspeksi diri. Mengambil hikmahnya, Ataukah mengeluh, mendzalimi diri sendiri,
mendzalimi orang lain dan mendzalimi - menyalahkan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Umat
beriman selalu mempunyai tujuan yang benar. Diusahakan dengan cara yang
benar. Berhasil dan tidaknya itu urusan Tuhan. Manusia tidak bisa mendekte
Tuhan. Tidak bisa memaksa Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Berkuasa. Maha Berkehendak.
Tugas manusia hanyalah berusaha dengan sebaik mungkin. Meniatkan dengan baik. Meniatkan dengan benar. Setelah itu
tawakal.
Betul kata Anies, bila saya menang berarti Tuhan percaya pada saya. Bila saya kalah berarti Tuhan menyelamatkan saya.
Itulah
tawakal. Dia merasa tidak pernah kalah. Panjenengan juga bisa seperti itu. Bila panjenengan memilih sesuai parameter ukhrowi yang akan meringankan hisabnya nanti. Berarti panjenengan telah menang single. Kalau pilihan panjenengan juga menang, panjenengan akan menang double.
( KSB, 15 Feb 2024 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar