12 Agustus 2024

TAMBANG IMAM

 Dampak Eksplorasi & Eksploitasi Barang Tambang Ramah Lingkungan

 Oleh Noor Aidlon 

H

IRUK PIKUK penentangan terhadap keputusan Muhammadiyah maupun NU menerima pemberian tambang dari pemerintah, mengingatkan saya atas kisah Imam Syafii. Ketika beliau berguru ke Madinah dan Irak.

Konon, Imam syafii ini termasuk sosok santri ( saat itu masih menimba ilmu ) yang zuhud. Menghindarkan diri dari kemewahan duniawi. Beliau berpandangan harta kekayaan akan memalingkannya dalam mencari keridloan Tuhan.

Demikianlah yang diajarkan orang tuanya. Pun diperkuat oleh kenyataan bahwa semua gurunya saat itu dalam kondisi tidak kaya.

Pandangan beliau mulai berubah ketika bertemu Imam Malik. Gurunya di Madinah.

Imam Syafii sendiri lahir di Palestina. Dikota Asqalan. Nama kecil beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin idris Asy Syafii. Ayahandanya meninggal dunia ketika beliau masih berumur 2 tahun. Kemudian oleh ibunya, beliau dibesarkan dan dididik di kota Mekkah.

Menginjak remaja, beliau dikirim ke Madinah. Berguru ke Imam Malik bin Anas. Betapa kagetnya ketika beliau menemui gurunya itu. Ternyata Imam Malik adalah sosok Imam yang kaya. Selalu berpakaian bagus, necis dan wangi. Juga merupakan sosok Imam yang sangat disegani. Imam yang kokoh memegang pendirian.

Suatu saat Imam Malik diminta datang ke kesultanan untuk mengajar keluarga sultan. Permintaan itu ditolak. Dengan satu alasan yang di kemudian hari menjadi sangat terkenal. Ilmu itu harus dicari. Orang harus datang mengambilnya. Bukan ilmunya yang datang menghampiri, katanya.

Memang, biasanya mereka yang telah merasa cukup dalam hidupnya akan dengan mudah memegang teguh pendiriannya. Tidak mudah tergiur dan tidak mudah diperintah. Bak seperti singa ketika masih menjadi raja hutan ditengah rimba. Yang disegani dan ditakuti oleh penghuni rimba. Bukan seperti singa dikandang sirkus yang mudah diperintah dan diintimidasi. Bahkan menjadi bahan tertawaan. Tanpa mampu melawan.

Imam Syafii yang awalnya merasa janggal melihat gurunya yang kaya, akhirnya beliau bisa menerima dan mengaguminya. 

Beliau tidak lama berguru ke Imam Malik. Cepat sekali beliau menyerap ilmu yang diajarkan. Karena sebelum datang, beliau telah membaca kitab Al Muwatta yang disusun gurunya itu. Yang diajarkannya itu. Begitulah seharusnya cara belajar santri agar efektif. Membaca bukunya sebelum guru mengajarkannya.

Karena dinilai sudah cukup, maka Imam Malik akhirnya menyarankan agar Imam Syafii pergi ke daerah Irak. Belajar kepada Muhammad bin Hasan Al- Saibani. Salah satu murid Imam Abu Hanifah.  Imam Abu Hanifah sendiri saat itu sudah meninggal. Meninggal pada tahun Imam Syafii dilahirkan.

Ketika pamit, Imam Syaffi diberi uang sangu ( uang sebagai bekal di perjalanan ) yang sangat banyak. Belum pernah Imam syafii menggengam dinar sebanyak itu. Ternyata orang sholeh yang kaya bisa meringankan dan memudahkan pencari ilmu. Gumam beliau dalam hati.

Setiba di Irak dan bertemu dengan Muhammad bin Hasan Al- Saibani, Imam Syafii dibuat lebih terperanjat lagi. Gurunya menghitung dan meletakkan kepingan emas di atas meja tamu. Gurunya yang ini jauh lebih kaya dibanding Imam Malik.

Keterkejutan Imam Syafii terbaca oleh gurunya. Kemudian gurunya bertanya kamu koq kelihatan tidak begitu suka melihat ada orang sholeh yang banyak harta. Ya, saya kurang suka dan aneh saja. Jawab Imam Syafii jujur.

Ya sudah. Kalau begitu lantakan emas emas ini saya kasihkan saja kepada mereka yang ahli maksiat. Bagaimana ? kata sang guru. Wah, jangan syeih. Nanti malah dipakai maksiat. Malah lebih banyak mudharatnya. Malah akan lebih berbahaya. Kata Imam Syafii.

Jadi orang sholeh boleh punya banyak uang ya ? Kata sang guru menegaskan.

Begitu kira kira yang ada di dalam fikiran saya. Yang menjadi harapan dan doa saya dan panjenengan. Ketika mengetahui Muhammadiyah dan NU memutuskan untuk menerima pemberian tambang oleh pemerintah. Semoga Muhammadiyan dan NU bisa mengemban amanah dengan baik. Semoga mereka bisa mengelola tambang dengan lebih baik. Sesuai prinsip best mining. Reklamasi dilakukan dengan lebih baik. Reboisasi dilakukan dengan lebih baik. AMDAL dilakukan dengan lebih baik. Tanpa meninggalkan kerusakan alam yang berarti. Masyarakat sekitar tambang menerima manfaat lebih baik. Dan kas Muhammadyah dan NU bisa tumbuh lebih baik. Untuk membiayai program programnya dengan lebih baik.

Tentu, sebelum menerima lahan tambang harus dilakukan due diligent terlebih dahulu. Dengan cermat. Jangan sampai lahan tambang yang diberikan ternyata bermasalah. Ternyata tidak feasible. Yang akan merugikan. Atau bahkan jangan sampai Muhammadiyan dan NU ini dijadikan tukang cuci piring. Makanan enaknya sudah diambil orang lain. Tersisa hanya piring kotor yang ditinggalkannya.

Tambang - milik pemerintah itu harus dikelola agar menghasilkan uang. Agar bisa dipakai untuk membiayai pembangunan.

Kini masalahnya adalah kepada siapa pengelolaannya itu diserahkan.

Bila pengelolaannya diserahkan kepada fihak asing. Keuntungannya akan dibawa pulang ke negara asing. Keluar negeri. Untuk kesejahteraan penduduk sana.

Atau pengelolaannya diserahkan kepada perorangan – warga indonesia. Keuntungannya akan masuk ke kantong pribadinya. Yang bisa dipergunakan untuk apa saja. Bisa untuk beribadah, bisa untuk maksiat. Terserah yang punya kantong.

Atau pengelolaannya diserahkan ke ormas keagamaan. Keuntungannya akan masuk kas organisasi. Untuk membiayai program programnya. Termasuk program yang panjenengan usulkan itu. Yang mulia itu.

Jadi menurut panjenengan, lebih baik diserahkan kepada siapa tambang itu ?

 

( NA, 12 Agustus 2024 )

 


01 Agustus 2024

TUJUH PUTARAN

Gerakan Rukun Thawaf Dalam Haji dan Umrah

Oleh Noor Aidlon

K

ALA ITU. Hampir jam 11 malam waktu Mekah, kami memasuki pelataran Ka'bah untuk melakukan Thawaf. Thawaf merupakan salah satu rukun umroh yang wajib dilakukan oleh mereka yang akan melaksanakan umrah.  Yakni dengan  berjalan mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Diawali dari sudut yang ada Hajar Aswadnya dan berakhir di sudut yang sama.

Meskipun tidak ada bacaan khusus yang harus dilafalkan, namun sangat dianjurkan untuk memperbanyak melafalkan kalimat thoyibah selama melakukan thawaf.  Bisa berupa pujian pujian kepada Allah, menyebut dan mensucikan asma Nya.  Atau meminta ampunan dan memanjatkan doa kepada Nya. Ataupun kalimat thoyibah yang lainnya. Bahkan diam – tidak mengucapkan sepatah apa apapun - juga diperbolehkan.

Yang dilarang adalah melakukan perbuatan keji dan munkar. Menghibah, menyakiti, mengganggu orang lain. Itu yang dilarang.

Maka selama berada di seputaran Ka'bah terdengar kalimat yang tidak seragam. Terdengar kalimat kalimat yang berbeda. Yang diucapkan satu orang berbeda dengan yang diucapkan orang yang lainnya. Satu rombongan dengan rombongan yang lainnya. Saling bersaut sautan. Dalam rangkaian kalimat thoyibah. Dalam satu tujuan. Menggapai Ridlo Illahi.

Prof Ali Azis – guru besar UINSA pernah menyampaikan dalam acara syi’ar pagi Radio Suara Surabaya, bahwa Nabi Adam lah dulu yang meminta kepada Allah untuk dibuatkan tempat Thawaf bagi manusia.

Ketika itu, Nabi Adam menyaksikan para Malaikat pada melakukan thawaf mengelilingi Baitul Makmur. Beliau pun kemudian meminta kepada Allah untuk dibuatkan hal yang serupa untuk manusia di muka Bumi.

Baitul Makmur – letaknya di langit sana. Setiap saat ada 600 ribu Malaikat yang mengelilinginya. Bergantian. Gelombang demi gelombang.  Mereka selalu menyenandungkan kalimat tasbih sambil berjalan mengitari Baitul Makmur.

Atas permintaan Nabi Adam, dibuatlah oleh Allah Baitullah itu. Tempat Thawafnya para manusia di Bumi. Letaknya di Mekah. Persis dibawah Baitul Makmur. Kalau ditarik garis lurus ke bawah.

Baitullah ada sejak zaman Nabi Adam. Nabi Ibrabim dengan dibantu Nabi Ismail - putranya - pernah meninggikan didindingnya. Hanya meninggikan. Bukan membangunnya. Kejadian meninggikan Baitullah itu, kemudian diabadikan dengan tanda berupa maqam Ibrahim. Tempat pijakan kaki Nabi Ibrahim saat meninggikan Baitullah.

Oleh karena itu ritual Thawaf ini sudah ada sejak Nabi Adam. Terus berlanjut.  Turun temurun sampai saat ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bahkan pernah terjadi degradasi cara berthawaf. Terjadi penyimpangan dari yang disyariatkan. Sampai sampai ada yang berthawaf dengan telanjang bulat. Tanpa memakai sehelai pakaianpun.  Hal ini kemudian diluruskan  kembali oleh Nabi Muhammad.

Pelataran Ka’bah malam itu terang benderang.  Bak siang hari. Lampu menyorot dari berbagai sudut.  Ka’bah sebagai sentral berdiri tegak di tengah pelataran. Kiswah – kain warna hitam dengan hiasan kuning emas - membalutnya. Sangat serasi. Para jamaah, ribuan jumlahnya berjalan mengitarinya. Sambil melantunkan kalimah thoyibah. Ada yang melantunkan dengan lirih. Ada yang dengan suara lantang.

Suasana menjadi syahdu. Menimbulkan rasa takjub. Kemudian secara spontan keluar dari lesan = kalimah tasbih. Lafadz itu keluar begitu saja. Tanpa disadari. Air mata itu menetes begitu saja. Tanpa disadari. Pecah tak terbendung. Bersamaan dengan terobatinya kerinduan. Yang tertahan bertahun tahun.

Saya salah duga lagi.  Ternyata hampir tengah malam, jamaah yang thawaf  masih begitu banyak. Tidak ada bedanya dengan siang hari. Ada beberapa jamaah menggendong putranya yang masih balita. Diletakkan diatas pundaknya. Diatas kepalanya.

Ada yang menggandeng putra kecilnya. Ada yang menggandeng Ibunya yang sudah lanjut. Saya melihat begitu sabar mereka menggandengnya. Berjalan pelan. Sangat pelan diantara rombongan yang begitu banyak.

Sebelum memulai Thawaf, mas Munthawif melakukan pengecekkan kembali apakah masing masing jamaah sudah bisa mendengar suara mas Munthawif melalui audio hajj.

Kemudian, mas Munthawif meminta kami membuat barisan. Berjajar tiga. Yang ditengah di isi oleh ibu ibu. Yang pinggir – kiri kanan - di isi oleh bapak bapak.

Barisan siap. Mas Munthawif menanyakan kembali apakah jamaah ada yang batal wudhu.  Orang yang berthawaf harus dalam keadaan suci dari hadats.

Barisan kami mulai bergerak,  berjalan pelan - pelan. Masuk ke tengah lautan manusia. Bergerak dan bergerak. Terkadang terhambat oleh jamaah yang mau menepi. Terkadang keserobot jamaah lain.

Mas Munthawif mengucapkan kalimat thoyibah. Kami menirukan. Begitu seterusnya. Bacaan itu dilantunkan dengan khusu', sambil berjalan mengitari ka'bah.

Berputar, dengan posisi ka'bah berada di sebelah kiri. Berputar berlawan dengan arah jarum jam. Itulah aturannya. Itulah yang disyariatkan.

Tidak terasa sudah tujuh putaran. Saya pegang bahu anak laki laki saya yang ada di depan saya. Berkeringat. Saya raba bahu saya tidak berkeringat. Udara malam sangat sejuk.

Mas Munthawif perlahan lahan berjalan menepi. Menepi mencari tempat sholat sunah. Daerah Multazam - tempat mustajabah untuk berdoa - masih penuh. Mas Munthawif terus saja. Kami mengikutinya dari belakang.

Akhirnya kami mendapat tempat setelah maqam Ibrahim. Dan kamipun Sholat sunah sendiri sendiri. 

Banyak jamaah yang sholat sambil menangis. Pun lebih banyak lagi yang berdoa sambil menangis.

Ketika hati bersih, ketika hati dibuka, ketika sadar kita tidak ada apa apanya dibanding kekuasaan Allah. Ketika menyadari begitu sombongnya makhluk yang tidak ada apa apanya ini, saat itulah air mata tidak akan mampu dibendung lagi. Oleh siapapun. Termasuk panjenengan.

#NA
#290724