Oleh Noor Aidlon
H |
IRUK
PIKUK penentangan terhadap keputusan Muhammadiyah maupun NU menerima pemberian
tambang dari pemerintah, mengingatkan saya atas kisah Imam Syafii. Ketika
beliau berguru ke Madinah dan Irak.
Konon, Imam syafii ini termasuk sosok santri ( saat itu masih menimba ilmu ) yang
zuhud. Menghindarkan diri dari kemewahan duniawi. Beliau berpandangan harta kekayaan akan
memalingkannya dalam mencari keridloan Tuhan.
Demikianlah yang diajarkan orang tuanya. Pun diperkuat oleh kenyataan bahwa
semua gurunya saat itu dalam kondisi tidak kaya.
Pandangan beliau mulai berubah ketika bertemu Imam Malik. Gurunya di Madinah.
Imam Syafii sendiri lahir di Palestina. Dikota Asqalan. Nama kecil beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin idris Asy Syafii. Ayahandanya meninggal dunia ketika beliau masih berumur 2 tahun. Kemudian oleh ibunya, beliau dibesarkan dan dididik di kota Mekkah.
Menginjak
remaja, beliau dikirim ke Madinah. Berguru ke Imam Malik bin Anas. Betapa
kagetnya ketika beliau menemui gurunya itu. Ternyata Imam Malik adalah sosok
Imam yang kaya. Selalu berpakaian bagus, necis dan wangi. Juga merupakan sosok
Imam yang sangat disegani. Imam yang kokoh memegang pendirian.
Suatu saat Imam Malik diminta datang ke kesultanan untuk mengajar keluarga
sultan. Permintaan itu ditolak. Dengan satu alasan yang di kemudian hari menjadi
sangat terkenal. Ilmu itu harus dicari. Orang harus datang mengambilnya. Bukan
ilmunya yang datang menghampiri, katanya.
Memang, biasanya mereka yang telah merasa cukup dalam hidupnya akan dengan mudah memegang
teguh pendiriannya. Tidak mudah tergiur dan tidak mudah diperintah. Bak seperti
singa ketika masih menjadi raja hutan ditengah rimba. Yang disegani dan ditakuti oleh penghuni rimba. Bukan seperti singa dikandang sirkus yang
mudah diperintah dan diintimidasi. Bahkan menjadi bahan tertawaan. Tanpa mampu melawan.
Imam Syafii yang awalnya merasa janggal melihat gurunya yang kaya, akhirnya beliau
bisa menerima dan mengaguminya.
Beliau tidak lama berguru ke Imam Malik. Cepat sekali beliau menyerap ilmu yang
diajarkan. Karena sebelum datang, beliau telah membaca kitab Al Muwatta yang
disusun gurunya itu. Yang diajarkannya itu. Begitulah seharusnya cara belajar santri agar efektif. Membaca
bukunya sebelum guru mengajarkannya.
Karena dinilai sudah cukup, maka Imam Malik akhirnya menyarankan agar Imam
Syafii pergi ke daerah Irak. Belajar kepada Muhammad bin Hasan Al- Saibani.
Salah satu murid Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sendiri saat itu sudah
meninggal. Meninggal pada tahun Imam Syafii dilahirkan.
Ketika pamit, Imam Syaffi diberi uang sangu ( uang sebagai bekal di perjalanan
) yang sangat banyak. Belum pernah Imam syafii menggengam dinar sebanyak itu.
Ternyata orang sholeh yang kaya bisa meringankan dan memudahkan pencari ilmu.
Gumam beliau dalam hati.
Setiba di Irak dan bertemu dengan Muhammad bin Hasan Al- Saibani, Imam Syafii dibuat
lebih terperanjat lagi. Gurunya menghitung dan meletakkan kepingan emas di atas
meja tamu. Gurunya yang ini jauh lebih kaya dibanding Imam Malik.
Keterkejutan Imam Syafii terbaca oleh gurunya. Kemudian gurunya bertanya kamu
koq kelihatan tidak begitu suka melihat ada orang sholeh yang banyak harta. Ya,
saya kurang suka dan aneh saja. Jawab Imam Syafii jujur.
Ya sudah. Kalau begitu lantakan emas emas ini saya kasihkan
saja kepada mereka yang ahli maksiat. Bagaimana ? kata sang guru. Wah, jangan syeih. Nanti
malah dipakai maksiat. Malah lebih banyak mudharatnya. Malah akan lebih berbahaya.
Kata Imam Syafii.
Jadi orang sholeh boleh punya banyak uang ya ? Kata sang guru menegaskan.
Begitu
kira kira yang ada di dalam fikiran saya. Yang menjadi harapan dan doa saya dan panjenengan. Ketika mengetahui Muhammadiyah dan NU memutuskan untuk menerima pemberian
tambang oleh pemerintah. Semoga Muhammadiyan dan NU bisa mengemban amanah dengan baik. Semoga mereka bisa mengelola tambang dengan lebih baik. Sesuai prinsip best mining. Reklamasi dilakukan dengan lebih baik. Reboisasi dilakukan dengan lebih baik. AMDAL dilakukan dengan lebih baik. Tanpa meninggalkan kerusakan alam yang berarti. Masyarakat sekitar tambang menerima manfaat lebih baik. Dan kas Muhammadyah dan NU bisa tumbuh lebih baik. Untuk membiayai program programnya dengan lebih baik.
Tentu, sebelum menerima lahan tambang harus dilakukan due diligent terlebih dahulu. Dengan cermat. Jangan sampai lahan tambang yang diberikan ternyata bermasalah. Ternyata tidak feasible. Yang akan merugikan. Atau bahkan jangan sampai Muhammadiyan dan NU ini dijadikan tukang cuci piring. Makanan enaknya sudah diambil orang lain. Tersisa hanya piring kotor yang ditinggalkannya.
Tambang - milik pemerintah itu harus dikelola agar menghasilkan uang. Agar bisa dipakai untuk membiayai pembangunan.
Kini masalahnya adalah kepada siapa pengelolaannya itu diserahkan.
Bila
pengelolaannya diserahkan kepada fihak asing. Keuntungannya akan dibawa pulang
ke negara asing. Keluar negeri. Untuk kesejahteraan penduduk sana.
Atau pengelolaannya diserahkan kepada perorangan – warga indonesia.
Keuntungannya akan masuk ke kantong pribadinya. Yang bisa dipergunakan untuk
apa saja. Bisa untuk beribadah, bisa untuk maksiat. Terserah yang punya
kantong.
Atau pengelolaannya diserahkan ke ormas keagamaan. Keuntungannya akan masuk kas
organisasi. Untuk membiayai program programnya. Termasuk program yang
panjenengan usulkan itu. Yang mulia itu.
Jadi menurut panjenengan, lebih baik diserahkan kepada siapa tambang itu ?
(
NA, 12 Agustus 2024 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar