K |
ALA
ITU. Hampir jam 11 malam waktu Mekah, kami memasuki pelataran Ka'bah untuk
melakukan Thawaf. Thawaf merupakan salah satu rukun umroh yang wajib dilakukan
oleh mereka yang akan melaksanakan umrah.
Yakni dengan berjalan
mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Diawali dari sudut yang ada Hajar
Aswadnya dan berakhir di sudut yang sama.
Meskipun tidak ada bacaan khusus
yang harus dilafalkan, namun sangat dianjurkan untuk memperbanyak melafalkan
kalimat thoyibah selama melakukan thawaf.
Bisa berupa pujian pujian kepada Allah, menyebut dan mensucikan asma Nya.
Atau meminta ampunan dan memanjatkan doa
kepada Nya. Ataupun kalimat thoyibah yang lainnya. Bahkan diam – tidak mengucapkan
sepatah apa apapun - juga diperbolehkan.
Yang dilarang adalah melakukan perbuatan keji dan munkar. Menghibah, menyakiti, mengganggu orang lain. Itu yang dilarang.
Maka
selama berada di seputaran Ka'bah terdengar kalimat yang tidak seragam.
Terdengar kalimat kalimat yang berbeda. Yang diucapkan satu orang berbeda dengan yang diucapkan orang
yang lainnya. Satu rombongan dengan rombongan yang lainnya. Saling bersaut
sautan. Dalam rangkaian kalimat thoyibah. Dalam satu tujuan. Menggapai Ridlo Illahi.
Prof Ali Azis – guru besar UINSA
pernah menyampaikan dalam acara syi’ar pagi Radio Suara Surabaya, bahwa Nabi
Adam lah dulu yang meminta kepada Allah untuk dibuatkan tempat Thawaf bagi
manusia.
Ketika itu, Nabi Adam menyaksikan
para Malaikat pada melakukan thawaf mengelilingi Baitul Makmur. Beliau pun
kemudian meminta kepada Allah untuk dibuatkan hal yang serupa untuk manusia di muka
Bumi.
Baitul Makmur – letaknya di langit sana. Setiap saat ada 600 ribu Malaikat yang mengelilinginya. Bergantian. Gelombang demi gelombang. Mereka selalu menyenandungkan kalimat tasbih sambil berjalan mengitari Baitul Makmur.
Atas permintaan Nabi Adam, dibuatlah oleh Allah Baitullah itu. Tempat Thawafnya para manusia di Bumi. Letaknya di Mekah. Persis dibawah Baitul Makmur. Kalau ditarik garis lurus ke bawah.
Baitullah
ada sejak zaman Nabi Adam. Nabi Ibrabim dengan dibantu Nabi Ismail - putranya -
pernah meninggikan didindingnya. Hanya meninggikan. Bukan membangunnya.
Kejadian meninggikan Baitullah itu, kemudian diabadikan dengan tanda berupa
maqam Ibrahim. Tempat pijakan kaki Nabi Ibrahim saat meninggikan Baitullah.
Oleh karena itu ritual Thawaf ini
sudah ada sejak Nabi Adam. Terus berlanjut. Turun temurun sampai saat
ini. Dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bahkan pernah terjadi degradasi cara berthawaf. Terjadi penyimpangan dari yang disyariatkan. Sampai sampai ada yang berthawaf dengan telanjang bulat. Tanpa memakai sehelai pakaianpun. Hal ini kemudian diluruskan kembali oleh Nabi Muhammad.
Pelataran Ka’bah malam itu terang benderang. Bak siang hari. Lampu menyorot dari berbagai sudut. Ka’bah sebagai sentral berdiri tegak di tengah pelataran. Kiswah – kain warna hitam dengan hiasan kuning emas - membalutnya. Sangat serasi. Para jamaah, ribuan jumlahnya berjalan mengitarinya. Sambil melantunkan kalimah thoyibah. Ada yang melantunkan dengan lirih. Ada yang dengan suara lantang.
Suasana menjadi syahdu. Menimbulkan rasa takjub. Kemudian secara spontan keluar dari lesan = kalimah tasbih. Lafadz itu keluar begitu saja. Tanpa disadari. Air mata itu menetes begitu saja. Tanpa disadari. Pecah tak terbendung. Bersamaan dengan terobatinya kerinduan. Yang tertahan bertahun tahun.
Saya salah duga lagi. Ternyata hampir tengah malam, jamaah yang thawaf masih begitu banyak. Tidak ada bedanya dengan siang hari. Ada beberapa jamaah menggendong putranya yang masih balita. Diletakkan diatas pundaknya. Diatas kepalanya.
Ada yang menggandeng putra kecilnya. Ada yang menggandeng Ibunya yang sudah lanjut. Saya melihat begitu sabar mereka menggandengnya. Berjalan pelan. Sangat pelan diantara rombongan yang begitu banyak.
Sebelum
memulai Thawaf, mas Munthawif melakukan pengecekkan kembali apakah masing
masing jamaah sudah bisa mendengar suara mas Munthawif melalui audio hajj.
Kemudian, mas Munthawif meminta kami
membuat barisan. Berjajar tiga. Yang ditengah di isi oleh ibu ibu. Yang pinggir
– kiri kanan - di isi oleh bapak bapak.
Barisan siap. Mas Munthawif menanyakan kembali apakah jamaah ada yang batal wudhu. Orang yang berthawaf harus dalam keadaan suci dari hadats.
Barisan
kami mulai bergerak, berjalan pelan -
pelan. Masuk ke tengah lautan manusia. Bergerak dan bergerak. Terkadang
terhambat oleh jamaah yang mau menepi. Terkadang keserobot jamaah lain.
Mas Munthawif mengucapkan kalimat
thoyibah. Kami menirukan. Begitu seterusnya. Bacaan itu dilantunkan dengan
khusu', sambil berjalan mengitari ka'bah.
Berputar, dengan
posisi ka'bah berada di sebelah kiri. Berputar berlawan dengan arah jarum jam. Itulah
aturannya. Itulah yang disyariatkan.
Tidak terasa sudah tujuh putaran.
Saya pegang bahu anak laki laki saya yang ada di depan saya. Berkeringat. Saya
raba bahu saya tidak berkeringat. Udara malam sangat sejuk.
Mas
Munthawif perlahan lahan berjalan menepi. Menepi mencari tempat sholat sunah.
Daerah Multazam - tempat mustajabah untuk berdoa - masih penuh. Mas Munthawif
terus saja. Kami mengikutinya dari belakang.
Akhirnya kami mendapat tempat
setelah maqam Ibrahim. Dan kamipun Sholat sunah sendiri sendiri.
Banyak
jamaah yang sholat sambil menangis. Pun lebih banyak lagi yang berdoa sambil
menangis.
Ketika hati bersih, ketika hati
dibuka, ketika sadar kita tidak ada apa apanya dibanding kekuasaan Allah.
Ketika menyadari begitu sombongnya makhluk yang tidak ada apa apanya ini, saat
itulah air mata tidak akan mampu dibendung lagi. Oleh siapapun. Termasuk
panjenengan.
#NA
#290724
Tidak ada komentar:
Posting Komentar