Laki
laki itu umurnya sekitar 30 tahunan. Orangnya sangat ramai. Bicaranya meledak ledak, spontan, seakan
tanpa memilih kata sehingga terkesan sedikit urakan. Rambutnya dikucir bagian
belakang meskipun bagian atas dan samping dipotong sangat pendek, persis
seperti gaya rambutnya Sule-OVJ. Kesukaannya pakai kaos dan celana jin
belel. Hal ini menambah kesan ke “urakan”
nya.
Ketika
saya mengundang teman teman kerumah; beberapa teman kantor terheran heran – koq
ada teman saya yang kayak gitu modelnya. Maklum hampir semua teman saya sangat
santun; hampir menyerupai priyayi yang segala ucap lakunya ditata menurut “manner”nya.
Ketika
saya ceritakan bagaimana teman satu ini yang terkesan urakan sangat hormat dan
sayangnya kepada kedua orang tuanya; mereka terkagum kagum dengan sedikit tidak percaya.
Saya
ketemu laki laki ini, sekitar tahun 2006 ketika kami melakukan manasik
haji. Kami satu KBIH jadi sering ketemu
apalagi setelah di Mekah Madinah. Dia berangkat haji bersama dengan
ayahnya. Saat itu ayahnya sudah
sepuh. Saya tahu persis bagaimana dia
menuntun ayahnya di Mekah dan Madinah.
Kalau
kami ini mau sholat ke masjidil haram, paling paling 1 jam sebelumnya kami baru
bersiap siap. Tidak demikian halnya dengan dia. Dia harus sudah bersiap siap 2
jam sebelumnya. Karena dia harus juga mempersiapkan ayahnya. Belum lagi kecepatan berjalan ayahnya yang
tidak secepat kami kami. Ayahnya sering
harus beristirahat di tengah jalan. Hal ini
semata mata karena kondisi fisik ayahnya.
Kalau
kami beberapa kali sempat berziarah ke beberapa tempat, dia tidak bisa
mengikutinya. Saya tahu persis dia mempunyai keinginan berziarah seperti kami
kami. Namun keinginan itu harus ditahannya demi menjaga ayahandanya. Satu
pengorbanan yang luar biasa. Dia tidak pernah mengeluh sedikitpun dalam menjaga
dan mengawal ayahandanya.
Jadi
saya tahu persis bagaimana dia harus menahan diri; berkorban demi ayahandanya.
Dan alhamdulillah; rukun Islam yang terakhir ini dia bisa selesaikan bersama
ayahandanya denan sangat baik.
Beberapa
tahun kemudian dia bercerita bahwa dia habis pulang umrah bersama dengan
ibundanya. Setelah kami minta dia menceritakan pengalamanya. Diapun bercerita
bagaimana dia mengurus dan menemani
ibundanya. Kalau dengan ayahnya dia perlu
waktu persiapan 2 jam sebelumnya untuk
bisa sholat di masjidil haram, dengan ibundanya dia harus mempersiapkan 3 jam
sebelumnya. Dia harus menyiapkan pakaian ibunya; membantu memakaikannya termasuk memakaikan kaos kaki.
Karena
kondisi ibundanya; tidak jarang dia harus menggendongnya. Kembali dia harus
menahan keinginan untuk berziarah dan bebas kemana dan melakukan apa saja
sesuai keinginannya.
Dia
menceritakan, sudah menjadi niatnya untuk menghajikan kedua orang tuanya
sebelum dia sendiri naik haji. Namun karena kondisi orang tuanya; maka dia
menemani ayahnya terlebih dahulu dalam menunaikan ibadah haji dan baru kemudian
menemani ibundanya. Ibundanya hanya umrah karena kondisi fisik ibundanya dan
antrian hajinya.
Alhamdulillah
saya telah selesai menaikan haji ayah dan ibu saya. Setelah ini saya akan haji
atau umrah sendiri, menebus keinginan untuk melakukan ibadah dan pergi ziarah
kemana saja yang dia kehendaki, niatnya.
Dua
minggu lalu kami mengadakan pertemuan di rumahnya. Rumahnya yang boleh dibilang
sangat sederhana. Dia selalu memperkenalkan
tamunya dengan ibunya. Ibunya sekarang sudah lumpuh, tidak bisa berjalan
sendiri. Setiap pagi dia siapkan kopi dan sarapan untuk ibundanya. Dia gendong
ibundanya ke kamar mandi atau tempat lain yang dikehendaki ibundanya.
Sekali
lagi dia harus menahan diri untuk pergi umroh sendiri atau bersama istrinya.
Dia baru menikahi gadis beberapa bulan
yang lalu. Dia bilang sangat bersyukur
menemukan istri yang juga dengan kasih sayangnya mau mengurus ibundanya yang
lumpuh.
Saya
merenung. Bagaimana dengan profesinya sebagai MC lokal dan perias
pengantin sudah 2 kali pergi ke tanah
haram bersama ayah dan ibundanya.
Sayapun
menemukan jawabannya. Yaitu impian dan birru walidain - berbakti kepada kedua orang tuanya.
Dia
mempunyai impian yang sangat jelas. Menghajikan kedua orang tuanya. Dengan
impian itu, secara tidak sadar di fikirannya akan tersetting prioritas.
Prioritas menabung untuk menghajikan ayah dan ibundanya terlebih dahulu. Merenovasi rumah nanti ! Membeli mobil, nanti
! dst. Dengan impian yang sangat jelas maka penyusunan prioritas akan sangat
mudah. Dalam seven habit diajarkan. Habit kedua adalah begin with the end in
mind. Setting tujuan akhir. Setting impian. Kemudian diikuti dengan habit
ketiga put first thing first. Penyusunan prioritas.
Banyak
orang sudah sangat faham dengan seven habit atau ajaran lain yang serupa. Namun
hanya sedikit orang yang mampu membuat ajaran tersebut menancap dalam di
fikiran dan hatinya. Banyak yang tergoyahkan ditengah jalan. Memang banyak
sekali gangguan; banyak sekali godaan dan banyak sekali alasan untuk
mempertahankan end in mind. Tujuan akhir yang telah di setting. Hanya mereka
yang memegang teguh; sangat teguh end in mind nyalah yang mampu bertahan dari
godaan dan terpaan badai yang berubah wujud menjadi “dalih” pembenaran.
Saya
berdoa; semoga amal ibadah laki laki teman saya ini diterima oleh Nya; mendapat
Ridlo Nya dan dicatat sebagai amalan yang penuh barokah.
Semoga
menginspriasi …