Perjalanan
tiga minggu yang lalu mengingatkan saya ke Desa Pasangsari. Sebuah Desa di
lereng Gunung Sumbing, Magelang. Di Desa itu saya dulu pernah KKN. Sudah lama
sekali. Sudah 37 tahun yang lalu.
Minggu pertama datang kesana, perut rasanya mau pecah. Lidah rasanya sudah kehilangan rasa.
Sebagai tamu kami harus sowan ( berkunjung ) ke tokoh2 desa. Tokoh karena jabatan di Desa itu. Atau tokoh karena pemuka agama disitu.
Setiap rumah yang kami kunjungi selalu menghidangkan nasi beserta lauk pauknya. Padahal sehari kami biasa berkunjung ke 5 -7 rumah.
Ketika saya mau menolak, pemuda Desa yg menemani bilang jangan di tolak. Bisa tersinggung tuan rumahnya.
Kejadian yg sama terulang 3 minggu yang lalu. Yang ini di daerah Madura. Sumenep. Tepatnya di daerah Manding. Kondisi Desa hampir sama dengan di Desa saya KKN dulu. Hampir setiap Halaman rumah saya lihat ada gedek tempat menjemur hasil sawah. Bedanya. Kalau di Madura untuk menjemur daun tembakau. Kalau di Magelang untuk menjemur daun teh. Masyarakatnya sama sama ramah. Tidak seperti yg saya bayangkan. Madura daerah Carok. Pasti kondisinya serem. Menakutkan. Ternyata saya salah. Mereka ramah. Bahkan sangat ramah. Hanya saja saya kesulitan komunikasi. Kebanyakan mereka berbahasa Madura. Yang saya tidak mengerti. Untung ada yang menterjemahkan. Mas Fadli namanya. Masih muda, ganteng dan gaul.
Dan ini yang persis sama.
Setiap rumah yg kami kunjungi selalu menyuguhkan makan besar. Nasi lengkap lauk pauk dan sayurnya. Saya perhatikan mereka menyajikan lebih dari 6 jenis masakan. Mereka masak sendiri. Dari hasil cocok tanam sendiri. Mereka memasak dari bahan yg baru saja di petik.
Ini yg sudah jarang kita temui di kota. Di Surabaya apalagi.
Itulah cara mereka menghormat tamu. Itulah yang dulu dilakukan Ibu saya di Desa. Dan juga ibu2 lain di Desa. Itulah ajaran agama yg di anut. Mereka tidak pernah merasa repot atau di repotkan oleh tamu.
Minggu pertama datang kesana, perut rasanya mau pecah. Lidah rasanya sudah kehilangan rasa.
Sebagai tamu kami harus sowan ( berkunjung ) ke tokoh2 desa. Tokoh karena jabatan di Desa itu. Atau tokoh karena pemuka agama disitu.
Setiap rumah yang kami kunjungi selalu menghidangkan nasi beserta lauk pauknya. Padahal sehari kami biasa berkunjung ke 5 -7 rumah.
Ketika saya mau menolak, pemuda Desa yg menemani bilang jangan di tolak. Bisa tersinggung tuan rumahnya.
Kejadian yg sama terulang 3 minggu yang lalu. Yang ini di daerah Madura. Sumenep. Tepatnya di daerah Manding. Kondisi Desa hampir sama dengan di Desa saya KKN dulu. Hampir setiap Halaman rumah saya lihat ada gedek tempat menjemur hasil sawah. Bedanya. Kalau di Madura untuk menjemur daun tembakau. Kalau di Magelang untuk menjemur daun teh. Masyarakatnya sama sama ramah. Tidak seperti yg saya bayangkan. Madura daerah Carok. Pasti kondisinya serem. Menakutkan. Ternyata saya salah. Mereka ramah. Bahkan sangat ramah. Hanya saja saya kesulitan komunikasi. Kebanyakan mereka berbahasa Madura. Yang saya tidak mengerti. Untung ada yang menterjemahkan. Mas Fadli namanya. Masih muda, ganteng dan gaul.
Dan ini yang persis sama.
Setiap rumah yg kami kunjungi selalu menyuguhkan makan besar. Nasi lengkap lauk pauk dan sayurnya. Saya perhatikan mereka menyajikan lebih dari 6 jenis masakan. Mereka masak sendiri. Dari hasil cocok tanam sendiri. Mereka memasak dari bahan yg baru saja di petik.
Ini yg sudah jarang kita temui di kota. Di Surabaya apalagi.
Itulah cara mereka menghormat tamu. Itulah yang dulu dilakukan Ibu saya di Desa. Dan juga ibu2 lain di Desa. Itulah ajaran agama yg di anut. Mereka tidak pernah merasa repot atau di repotkan oleh tamu.
Mereka meyakini tamu selalu
membawa berkah. Merekapun tidak pernah merasa takut kekurangan. Takut menjadi
miskin. Karena mereka yakin. Tamu dikirim Tuhan untuk membawa rezeki.
Atau karena sikap seperti itulah hidup mereka bahagia. Tenteram.
Tidak seperti orang kota. Hidupnya kemlungsung. Dikejar kesibukan. Hidup diatur pekerjaan. Bukan pekerjaan yg diatur kehidupan. Hidup diatur jadual. Bukan jadual yg mereka atur. Hidup mereka selalu terasa kurang.
Saya tidak sedang ngrasanin sampeyan lho ...
#NA
#Soeta251019
Atau karena sikap seperti itulah hidup mereka bahagia. Tenteram.
Tidak seperti orang kota. Hidupnya kemlungsung. Dikejar kesibukan. Hidup diatur pekerjaan. Bukan pekerjaan yg diatur kehidupan. Hidup diatur jadual. Bukan jadual yg mereka atur. Hidup mereka selalu terasa kurang.
Saya tidak sedang ngrasanin sampeyan lho ...
#NA
#Soeta251019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar