I
|
ni cerita yang saya peroleh. Ada seseorang yang mau membangun mushola.
Lokasinya di depan rumahnya. Tidak
begitu besar. Tapi juga tidak kecil. Cukupan luasnya. Dia berpesan khusus ke juru gambarnya. Kamar mandinya agar dibuat yang besar. Dan
terasnya juga dibuat yang lebar. Biar
para pedagang keliling yang mampir. Para musafir yang mampir. Atau siapa saja
yang mampir. Bisa mandi terlebih dahulu. Biar segar. Dan kemudian bisa beristirahat di teras. Bisa tidur tiduran. Lebih baik mereka beristirahat di Mushola ini daripada di pinggir jalan. Atau tempat lain
yang kurang aman.
Mulia sekali hatinya. Dia membantu menyiapkan fasilitas. Tempat
untuk melepas lelah bagi para musafir. Dia faham betul lingkungannya. Disitu memang banyak pedagang keliling yang
lewat. Yang berjalan kaki. Yang memikul dagangannya, berpanas panasan. Terutama
di waktu dhuhur. Keringat mengujur di
seluruh tubuhnya. Membuat kulit coklatnya bertambah mengkilat. Kasihan. Dia perlu tempat istirahat. Setelah
menegakkan sholatnya. Begitupun bagi para musafir yang bersepeda.
Dia ingin membantu memberikan fasilitas untuk sholat. Dan
juga istirahat. Dia ingin membantu kepada mereka yang dia sendiri tidak
mengetahuinya. Tidak mengenalnya. Bukan
membantu kepada mereka yang dimaui. Inilah
bentuk keikhlasan yang paling dalam. Jauh dari godaan ingin pamer.
Barangkali itulah sebabnya. Masjid masjid lama kita. Yang
dibangun oleh generasi sebelum kita. Selalu menyiapkan teras yang luas. Satu
pelajaran yang tidak pernah terucap.
Pelajaran tentang keikhlasan.
Begitu juga dengan tradisi menyiapkan
minuman dalam KENDI. Zaman saya kecil
dulu. Banyak rumah rumah yang menyiapkan kendi. Berisi air. Diletakkan di
pagar. Dekat dengan jalan. Agar siapapun yang lewat. Siapapun yang merasa haus.
Bisa meminum air kendi itu. Gratis. Dan tidak perlu minta ijin. Memberikan
bantuan tanpa mengharap imbalan. Memberikan bantuan tanpa merendahkan harga
diri yang dibantu.
Bukan seperti cerita ini. Yang akhir akhir ini terjadi. Ada
sebagian dari masyarakat. Ketika mau
membagikan bantuannya. Mereka mengundang
wartawan. Mengajak juru foto. Yang
kemudian di sebarkan melalui media. Kalau pejabat penting disebarkan dalam
berita televisi dan surat kabar. Kalau level masyarakat biasa di sebarkan
melalui media sosial. Biar di ketahui banyak orang. Mereka tidak sadar akan
perasaan yang menerima bantuan.
Saya merasa dibantu tapi
saya juga meras terhina. Dihadapan banyak orang. Begitu kira kira
jeritan penerima bantuan.
Tapi kini. Saat wabah covid 19 merebak. Masih ada sedikit
masyarakat. Mempraktekkan kembali
pelajaran leluhur kita. Memberikan bantuan dengan tulus ihlas. Memberi bantuan tanpa ingin tahu siapa yang bakal
menerimanya. Mereka menyiapkan bantuan. Biasanya paket sembako. Ada juga yang berupa
mie instant. Digantungkan di pagar rumah. Bisa diambil oleh siapapun. Yang
merasa membutuhkan. Tanpa merasa terhina. Itulah local wisdom. Pelajaran dari
leluhur kita. Yang tak pernah terucap.
Tapi penuh makna.
#NA
#KSB260420
#belajar_ihlas
#dirumahAja_bila_tak_ada_perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar