02 Oktober 2009

PERLUKAH MEREDIFINISI PEMAHAMAN KITA

Saat iedul fitri kemarin, kami sempat sholat di masjid Jami’ Kudus. Seperti biasa, jamaahnya meluber sampai di jalan dan alon alon. Kalau dibandingkan dengan tahun tahun lalu, sepertinya jamaah sholat ied tahun ini jauh lebih banyak.

Setelah pidato dari Bupati yang menyampaikan selamat hari raya iedul fitri kepada rakyatnya, kemudian dilanjutkan sholat ied dan diakhiri dengan khutbah. Ada hal yang mengusik saya – salah satu hadist yang dikutip adalah mengenai manusia itu tempatnya salah dan lupa. Tidak salah memang. Namun hadist itu yang kalau salah konteks nya bisa dipakai sebagai alasan orang untuk boleh salah dan lupa. Padahal menurut saya, manusia itu ciptaan Dzat Yang Maha Sempurna, yang tentu juga sangat  ( berpotensi ) sempurna ( manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna ), dan kalau sekarang masih sangat jauh dari sempurna, maka tugas kitalah yang mendekatkan ke kesempurnaan.

Saya pernah didatangi salah seorang teman. Dia merasa akhir akhir ini menjadi pelupa dan susah menyerap hal hal baru. Kemudian saya minta dia menceritakan kejadian saat ybs duduk di bangku SD ( berarti sudah lebih dari 30 tahun yang lalu ). Dan dengan lancar dan runtutnya dia ceritakan satu peristiwa.  Lho ... peristiwa 30 tahun yang lalu koq kamu masih ingat ? kata saya. Berarti kamu bukan pelupa dong. Iya mas, tapi untuk kejadian yang kemarin pun saya banyak yang sudah tidak ingat lagi, kata teman saya sedikit protes. Kemudian saya cerita bagaimana fungsi conscious dan unconscious mind, bagaimana proses pennyimpanan dalam memory, apa yang mengganggu dan menghalangi proses itu. Pointnya adalah kalau kita merasa/fikir sesuatu itu penting, maka sesuatu itu akan disimpan dengan sangat baik, sehingga tidak cepat lupa. Dan proses memorynya akan berjalan baik kalau kondisi kita relaks tidak tegang/stress. Alhamdulillah teman saya ini sekarang sudah menjadi officer.

Awal minggu ini, saya juga dengar ustadz di TV, ada satu kalimat yang  juga mengusik saya. Beliau sampaikan, manusia mukmin itu kaya juga boleh. Menurut saya, bukan hanya boleh, tapi harus kaya. Saya pernah sampaikan kepada ustadz di masjid dekat rumah saya.  Saya bilang, ustadz ..  Tuhan itu menyuruh kita untuk banyak memberi dan berbagi, apakah melalui zakat,shodaqoh, pengajaran, dsb.    Nah, untuk bisa banyak memberi dan berbagi, kita harus punya banyak dulu. Bagaimana mau memberi dan berbagi, kalau yang kita punyai juga sedikit ?  Bukankah diajarkan untuk mencari rezeki/kerja seakan kita akan hidup selamanya, dan beribadahlah seakan kita akan segera mati. Bukankah kita disuruh berhenti sejenak meninggalkan pekerjaan untuk menunaikan sholat jum’at dan setelah itu disuruh kerja lagi ? Jadi menurut pemahaman saya, kita ini dituntut untuk kerja keras, dituntut untuk sukses namun tidak mengingkari fungsi kita sebagai abdi Allah.

Sahabat, kayaknya kita harus meredifinisi atau mendalami ulang pemahaman kita tentang spiritualitas. Saya sering sedih saat puasa kemarin banyak teman yang beralasan sedang puasa ketika dikatakan koq loyo ? Bukankah Allah dan Nabi mengajarkan untuk bergegaslah/menyegerakan sesuatu – tentu yang baik baik; dan saya belum pernah mendengar/membaca nabi menganjurkan “tundalah”, “berlambat lambatlah” untuk mengerjakan sesuatu yang baik.

Semoga menginspirasi ... ( KSB jam 20.36 )