28 Januari 2009

IMPIAN


IMPIAN


Teman saya menyarankan kalau mau liburan ke Bali dan berombongan janganlah di bulan Nopember dan Desember. Di bulan bulan tersebut mencari hotel dan penerbangan sangatlah sulit. Kalau toh ada pastilah harganya sangat mahal. Tundalah sedikit waktu sampai pertengahan bulan Januari.

Berdasar saran tersebut, akhirnya kami berombongan 30 orang memutuskan berangkat ke Bali di pertengahan Januari yang lalu. Memang Pesawat dapat yang lumayan murah, namun hotel ternyata masih juga sulit, apalagi kalau tetap ngotot agar rombongan tersebut menginap di satu hotel dan berlokasi didaerah Kuta. Wah, susahnya bukan main. Namun berkat bantuan seorang teman di Denpasar – yang kebetulan istrinya bekerja di hotel tersebut, akhirnya kami mendapatkan hotel seperti yang kami harapkan. Dapat menampung satu rombongan, berlokasi di daerah Kuta, berbintang 4 dan harga berdiskon.

Begitu mendarat di Denpasar, saya kaget juga. Katanya di pertengahan Januari sudah tidak peak time lagi, tapi nyatanya bandara begitu ramai, semua penerbangan full book. Dipintu keluar saya lihat banyak sekali fihak hotel yang melakukan penjemputan. Saya perhatikan juga ternyata hampir sebagian besar berombongan, bahkan banyak yang memakai seragam – ada berseragam formal, seperti batik, jaket, tapi ada juga yang berseragam kaos.

Di hotel tempat kami menginap juga banyak rombongan dari perusahaan. Setelah ngobrol dengan receptionis, tahulah saya bahwa mereka juga mengadakan rapat disitu. Rupanya mereka rapat budget, melihat kembali visi misinya, melihat kembali impian-impiannya.

Berbicara impian, saya teringat impian saya di waktu kecil. Saya dan teman teman saya di kampung waktu itu sering membicarakan impiannya masing masing. Ada seorang teman saya pingin jadi tentara, agar dia bisa pegang pistol dan ditakuti, ada teman saya punya impian bisa memiliki sepeda motor – yang waktu itu masih sangat langka-yang belum tentu kami menjumpai dijalanan, dan saya sendiri punya impian bisa naik pesawat terbang – maklum kami hanya bisa melihat pesawat yang terbang sangat tinggi, yang kelihatan sangat kecil dan tidak terdengar suaranya. Kami hanya tahu kalau ada pesawat yang lewat ketika kami melihat kelangit dan ada benda kecil seperti salib berwarna putih yang berjalan dan dibelakangnya ada asap putih. Saya masih ingat ketika saya bilang impian saya bisa naik pesawat terbang, teman teman saya serentak bilang “kayal” ( artinya tidak mungkin ).

Sekarang, Insya Allah impian kami tersebut telah terwujud. Saya kurang tahu persis terwujudnya itu karena kerja keras kami ataukah hanya “membonceng” keberhasilan pembangunan. Saya sendiri bisa dikatakan paling tidak sebulan sekali bisa naik pesawat, teman saya tidak hanya sudah punya sepeda motor, tapi juga sudah punya mobil.

Bagi anak anak Surabaya sekarang, naik pesawat, mempunyai sepeda motor bukan merupakan kebanggaan lagi, apalagi impian. Kenapa ? Karena barang barang tersebut setiap hari bisa dilihat, setiap hari ada disekitar mereka. Banyak orang mengajarkan agar berani membuat impian yang sangat tinggi. Bahkan anak2 juga sudah bisa dengan lantang mengatakan ‘jangan takut bermimpi tinggi”. Kata “tinggi” adalah relative. Karena relative maka sangat tergantung pada ‘perasaan seseorang’. Seperti halnya kata mahal. Teman saya beli mobil seharga Rp 900 juta dan dia mengatakan murah. Orang yang merasa mampu tentu mengukur mahal atau tinggi berbeda dengan orang yang merasa tidak mampu.

Dalam diskusi “Seninan” di Tunjungan –yang saat ini masih membahas buku berfikir dan berjiwa besar, disebutkan bahwa hal yang paling mendasar untuk berhasil adalah membangun keyakinan. Bagaimana membangun keyakinan diri bahwa manusia itu diberikan instrumen oleh Tuhan yang sangat sempurna, dipersiapkan untuk berhasil. Inilah yang mempengaruhi orang “merasa” mampu atau “merasa” tidak mampu. Kalau orang sudah merasa tidak mampu, bagaimana dia bisa membangun impian yang tinggi sehingga bisa melihat setiap perubahan adalah kesempatan, dan bukan ancaman. Orang yang merasa tidak mampu paling pintar membuat dalih. Itu hasil diskusi teman2.

Sahabat, marilah kita renungkan bukankah Tuhan juga memerintahkan kita untuk berjuang ? Memerintahkan kita untuk berhasil sehingga bisa memberikan nilai tambah bagi kita sendiri dan lingkungan ? Kalau Tuhan memerintahkan seperti itu, bukankah Tuhan juga melengkapi dengan instrumen sehingga perintah Nya bisa kita laksanakan ? Kalau demikian bukankah kita ini sebetulnya diberikan kemampuan ? Kalau demikian bukankah kita ini layak dan selayaknya untuk bermimpi besar ? Kalau demikian bukankah kita ini sangat mungkin bisa menjadi orang besar ....

Semoga menginspirasi ....... ( century jam 22.45 )

20 Januari 2009

PRINSIP DIRI

Pagi itu Nasarudin mengajak anaknya ke pasar. Karena jauh, maka sang anak diminta naik diatas punggung keledai sedangkan Nasarudin sendiri berjalan disamping keledainya. Kira kira berjalan 10 menit Nasarudin bertemu dengan temannya sekampung. Setengah mengolok si teman ini berkata, ANAK GAK TAHU DIRI, MASAK ORANG TUANYA DISURUH BERJALAN MENUNTUN KELEDAI, SEDANGKAN DIA SENDIRI ENAK-ENAKAN DUDUK MANIS DIATAS PUNGGUNG KELEDAI. MEMANGNYA KAMU GAK BISA MENDIDIK ANAK APA DIN .....

Merasa disindir demikian, maka Nasarudin meminta anaknya turun dari punggung keledai dan kemudian gantian Nasarudin yang naik di punggung keledai. Belum berjalan jauh, ketemu lagi dengan temannya semasa sekolah. Dengan setengah mengejek si teman inipun berkata, ORANG TUA KOQ GAK PUNYA BELAS KASIHAN, MASAK ANAKNYA DISURUH BERJALAN MENUNTUN KELEDAI, SEDANGKAN DIA SENDIRI DUDUK ENAK-ENAKAN DIATAS PUNGGUNG KELEDAI. MEMANG ORANG TUA GAK SAYANG SAMA ANAK.

Merasa disindir demikian, maka Nasarudin meminta anaknya untuk naik sekalian diatas punggung keledai. Sekarang keledai itu dinaiki oleh 2 orang, yaitu Nasarudin dan anaknya. Belum berjalan jauh, ketemu lagi dengan temannya bermain ketika Nasarudin masih kecil. Dengan sambil tertawa mengejek teman ini berkata, HA HA HA ..... DIN, DIN. MASAK KELEDAI SEKECIL INI KAMU NAIKI BERDUA. APA GAK KASIHAN SAMA KELEDAINYA DIN. INGAT DIA JUGA MAKHLUK TUHAN LHO DIN ....

Merasa salah, maka sekarang Nasarudin dan anaknya turun dan berjalan disamping keledainya. Namun demikian belum berjalan lama, ketemu lagi dengan temannya. Komentar temannya, DIN .. DIN .. KAMU ITU BODOH APA GAIMANA SIH, MASAK ADA KELEDAI GITU GAK KAMU NAIKI. ANAKMU KHAN CAPAI DIN, COBA TUH LIHAT ... KASIHAN KHAN ANAKMU.

Sahabat, marilah kita renungkan. Bukankah situasi seperti Nasarudin itu pernah juga kita alami. Kita sering mengeluh double GS alias Gini Salah Gitu Salah. Setiap orang mempunyai suduh pandang, value yang berbeda, yang kemudian sering dipakai untuk menghakimi fihak lain.
Komentar orang lain itu sering seperti virus yang bisa merusak diri seseorang. Karena pendapat, komentar dan kritikan orang lain dapat mematikan dan merusak kita, bila kita mengijinkannya. Begitu juga sebaliknya pendapat, komentar dan kritikan orang lain bisa menjadi obat dan masukan yang berharga, bila kita pandai mengelolanya.
Oleh karena itu seven habit mengajarkan kepada kita untuk pro aktif artinya dalam merespond sesuatu selalu ada pertimbangan yang matang yang difahami termasuk juga konsekwensinya. Kebalikannya adalah reaktif yang dalam merespond sesuatu dengan sedikit pertimbangan. Prinsip dan Konsep diri yang mantap lah dasar dan kunci pro aktif yang akan menghindarkan dari kebingungan karena komentar fihak lain.
Seorang bijak mengatakan "Jangan lakukan apa yang dikatakan orang lain. Lakukanlah apa yang menurutmu memang baik".

Semoga menginspirasi ..... ( mampang prapatan 07.30 )

15 Januari 2009

SANDAL LEPAS
Seperti tahun tahun sebelumnya, lebaran tahun inipun dapat membuktikan kembali bahwa rakyat indonesia mempunyai daya juang yang sangat tinggi untuk sesuatu yang ingin dicapainya. Betapa tidak. Kalau diperhatikan bagaimana mereka berjuang mulai untuk mendapatkan tiket kereta api, naik kereta api sampai cari alat transportasi lain yang dapat menghantarkannya ke desa/kampung halamannya.

Demikian juga dengan Jakfar. Mulai habis subuh sudah berkemas. Kemudian cari angkot ke terminal bis umum, dan mencari bis umum. Karena naik bis umum, maka Jakfar tidak usah bersusah payah membeli tiket beberapa hari sebelumnya. Hanya datang ke terminal, menunggu bis yang akan berangkat menuju ke kampung halamannya. Memang untuk tahun ini dia memilih naik bis umum daripada dengan naik travel seperti pada tahun tahun sebelumnya. Pertimbangannya adalah disamping tidak jelas kapan kantor tempatnya kerja mulai libur, juga karena mudik tahun ini dia berangkat sendirian, karena anak dan istrinya sudah berangkat duluan, sehari setelah sekolah anaknya libur.

Meskipun Jakfar sudah mengantisipasi bahwa nanti akan berebut naik bis, namun perkiraannya jauh meleset. Hampir 2 jam dia menunggu, tak ada satupun bis yang sedikit longgar. Kayaknya jumlah orang yang di terminal, yang mau naik bis jauh lebih banyak. Sampai sampai bis yang baru masuk terminal, belum sampai berhenti sempurna sudah diserbu orang yang berebut mau naik. Padahal penumpang yang diatas belum pada turun. Akhirnya terjadilah kegaduhan.

Meskipun dengan mengeluh, toh akhirnya Jakfar nekat ikut berebut naik bus juga. Begitu tangan kirinya bisa berpegangan pada pintu bis, sambil berlari iapun berebut pijakan kaki dipintu itu. Dan akhirnya salah satu kakinya dapat pijakan juga, pijakan diatas kaki penumpang lain, karena memang sudah tidak ada lagi tempat berpijak kecuali ya diatas kaki penumpang lain itu. Penumpang yang kakinya dipijak itu marah ? Ternyata tidak. Justru dia membantu jakfar dengan cara menarik tangan kanan Jakfar. Disinilah terbukti lagi bahwa bangsa ini mempunyai rasa tolong menolong yang sangat tinggi. Dengan tangan kiri tetap berpegangan pintu bis satu kaki jakfar masih bergelantung dan ... sandalnyapun lepas satu jatuh dijalan. Menyadari sandalnya jatuh satu, secepat kilat dia copot sandal satunya lagi dan melemparkannya ketempat jatuhnya sandal yang satunya. Melihat ulah jakfar tsb, penumpang disebelahnya bertanya : lho koq sandalnya dibuang mas ? Dengan tersenyum Jakfar menjawab, ya ... lebih baik saya buang saja mas. Moga2 jatuhnya sandal tersebut tidak berjauhan dengan sandal pasangannya tadi. Moga2 ada orang yang nemu sandal tsb. Utuh sepasang, sehingga sandal itu masih bisa dipakai, masih bisa dimanfaatkan sesuai fungsinya.

Sahabat, pemikiran jakfar ini memang sederhana. Kalau sandal satunya tetap dipertahankan, pastilah kedua sandal yang berpasangan tsb tidak akan banyak manfaatnya sebagai sandal. Dia relakan dirinya cekeran ( tidak pakai sandal ) dan berharap orang lain yang menemukan sandal tsb dapat memakainya. Pemikiran ini jauh dari prinsip TIJITIBEH – MATI SIJI MATI KABEH ( Mati satu Mati Semua ), satu prinsip bumi hangus, tidak rela orang lain dapat manfaat atau lebih jeleknya kalau dirinya sengsara orang lain harus ikut sengsara. Seperti perilaku anak kecil yang berebut layang layang putus, rasanya akan menjadi seru kalau layang layang yang diperebutkan tsb terobek robek yang akhirnya tak satu orangpun bisa memanfaatkannya.

Kita termasuk berperilaku yang mana ? Semoga menginspirasi ( Ngurah Rai – 16.00 )

BERBAGI, BERBAGI DAN BERBAGILAH

Agama apapun didunia ini memerintahkan ( atau paling tidak menganjurkan ) untuk membagikan ( menafkahkan ) sebagian rizki yang diterimanya kepada orang lain. Bahkan ada yang berfaham bahwa kata membagikan atau menafkahkan dalam konteks i ini adalah mengembalikan, menyerahkan hak kepada yang berhak. Artinya bahwa didalam rizki yang kita terima ini ada hak orang lain yang dititipkan Tuhan. Hak itu haruslah diserahkan. Kalau tidak diserahkan ? Bisa dikategorikan merampas, merampok hak orang lain. Kalau kita tidak setuju dengan pendapat yang terakhir ini, pastilah kita semua setuju bahwa Tuhan ( minimal menganjurkan ) memerintahkan kita untuk menyalurkan sebagian dari rizki yang kita terima.
Pengertian rizki selama ini saya pribadi menafsirkannya sebagai harta yang kita peroleh atau bahkan sering kita artikan dengan lebih sempit lagi sebagai gaji yang kita terima – kalau kita orang gajian, atau keuntungan yang kita dapatkan – kalau kita orang dagang.
Suatu saat - sudah lama - beberapa tahun yang lalu - saya membaca satu tulisan yang mengartikan rizki tidak sekedar harta yang kita peroleh, tapi lebih luas lagi, yaitu yang menyangkut segala hal - bisa berupa kesehatan, waktu luang, ilmu dan bentuk kenikmatan lain yang kita terima, yang kita dapatkan.
Saya merenungkan hal itu kemudian saya coba menghitung. Saya sedikit banyak punya pengalaman, saya sering diminta menjadi instruktur training, saya beberapa kali diminta mengisi seminar – yang tentu ada cerita cerita yang bisa dibagi kepada orang lain. Terus kalau saya hitung, saya punya atau tepatnya diberi waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan seterusnya. Anggap saja sebagian waktu tsb adalah hak orang lain dan saya harus bagikan sebesar 2,5 % maka dalam sebulan saya harus meluangkan waktu minimal 17 jam sebulan untuk orang lain. Dari pengertian saya tersebut, maka sejak 3 tahun yang lalu saya mencoba menulis cerita sangat pendek yang mudah2an dapat menginspirasi teman teman saya . Yang kemudian tulisan itu saya beri label renungan dan saya kirim kepada teman teman dekat saya dalam bentuk email. Ternyata cerita tersebut banyak juga yang menanti karena memang dapat menginspirasi – kata beberapa teman saya memberikan supportnya.
Akhir tahun lalu ada yang mengusulkan, mengapa renungan2 tersebut tidk di share ke kalangan yang lebih luas lagi. Saya ragu atas usul itu, apa pantas ? begitu kata saya. Sekecil apapun yang bisa dibagi akan punya manfaat. Bukankah kamu pernah cerita bahwa apa yang dibagikan jauh lebih berharga daripada yang sekedar dimiliki, demikian teman saya mengingatkan saya.
Akhirnya saya ketemu satu teman yang punya blog dan saya diajari bagiamana mudahnya bikin blog. Bahkan teman saya kemudian mengusulkan nama blognya yaitu aidlonberbagi, lengkapnya http://www.aidlonberbagi.blogspot.com/.
Jauh dari niat sombong, mudah mudahan blog ini bisa memberikan manfaat dan menginspirasi yang lain.
Wassalam