28 Februari 2010

BERSYUKUR

Saya perhatikan salah satu staff saya hari itu kelihatannya punya masalah. Wajahnya yang biasa cerita kelihatan murung;  tatapan matanya kosong menerawang.  Saya dekati dia dan dengan berbisik saya Tanya apakah kamu sakit ? Dia tidak menjawab pertanyaan saya; namun sebaliknya malah dia bertanya mas ada waktu, saya mau berkonsultasi. Meskipun sebetulnya sebentar lagi saya ada rapat; namun saya katakana ada; mau diskusi sekarang;  saya menawarkan.

Setelah duduk di ruang kerja saya; akhirnya dia nyerocos berbicara mengungkapkan permasalahan yang dihadapi. Saya biarkan dia bicara terus; saya hanya mendengarkan sampai akhirnya dia menangis. Ditengah tangisan dia katakana bahwa Tuhan Tidak Adil; Saya tidak percaya lagi sama Tuhan; katanya dengan penuh emosi.  Mendengar kalimatnya yang mulai mengingkari  Tuhan; saya menyela dan saya minta dia istighfar; minta ampun kepada  Tuhan. Namun dengan serta merta dia menolak saran saya. Ngapain saya minta ampun; orang saya sudah tidak percaya sama Tuhan; katanya dengan masih emosi.

Setelah beberapa saat terdiam dengan sambil menangis; akhirnya emosinya mulai turun.  Saya mulai bisa diskusi dengan dia; sebut saja namanya  S

NA          : Sudah berapa lama kamu kerja di kantor ini ?

S              : 7 tahun mas

NA          : Bagaimana ceritanya kamu bisa kerja dikantor ini ?

S              : Suatu saat saya melamar jadi pegawai Pemkot.  Pagi itu; waktu diumumkannya hasil test. SAyapun dating untuk melihat pengumuman. Ternyata saya tidak diterima. Dengan rasa sedih saya duduk dirumput halaman Pemkot. Sebelah saya juga duduk beberapa orang; yang kelihatannya juga bernasib sama dengan saya. Kemudian ada salah seorang yang bertanya kepada saya; apakah saya diterima ? Saya jawab Tidak.  Dan ternyata diapun tidak diterima. Dia mengajak saya untuk melamar pekerjaan ke kantor ini.

NA          : Kapan kamu kenal dia ?

S              : Baru saat itu; ketika melihat pengumuman

NA          : Jadi kemudian kamu dan dia melamar ke kantor ini ?

S              : ya; kami janjian memasukkan lamaran bersama sama

NA          : Dia diterima ?

S              : Tidak

NA          : Koq aneh ya ? Kamu dengan tidak sengaja  kenal sama orang itu; bahkan orang itu yang pertama kali ngajak kenalan.  Terus orang itu mengajak kamu melamar di kantor ini. Dan ternyata kamu yang diterima; sementara  orang itu yang mengajak kamu; tidak diterima. Kira kira; kejadian itu semua kebetulan, ataukah ada tangan yang merencanakan ?  Kira kira kamu tahu nggak kenapa kamu yang diterima ?

S              : Tidak tahu mas.

NA          : Kira kira – diantara para pelamar itu, ada gak  yang lebih pinter dari kamu ? Yang lebih bagus dari kamu tapi tidak diterima ?

S              : Ada mas.

NA          : Bukankah itu berarti Tuhan memberikan Amanah kepada kamu untuk mencari rezeki di kantor ini ?

S              : Astaghfirullah; Saya khilaf mas ……

 

SAhabat; didalam kesibukan kita sehari hari; kita memang sering lupa atas nikmat yang telah diberikan kepada kita; sehingga kitapun lupa untuk bersyukur juga.    Ada saran menarik yang bisa kita praktekkan sehingga kita tidak lupa untuk bersyukur; yaitu ketika kita mendapat kenikmatan  apapun dalam bentuk apapun; selalu menanyakan Kenapa mesti saya; bukankah ada orang yang lebih baik dari saya sehingga secara logika lebih berhak ?

 Ketika manasik haji; ustad kami sering mengingatkan bahwa diluar sana ada banyak orang yang lebih kaya dari kita; lebih sehat dari kita; lebih punya waktu dari kita; tapi kenapa kita yang insya Allah berangkat haji dan bukan mereka ?

Semoga menginspirasi …… ( harris htl  00:06 )

03 Februari 2010

Petapa Muda dan Kepiting ( disadur dari email seorang teman )

Suatu ketika di sore hari yang terasa teduh, tampak seorang pertapa muda sedang bermeditasi di bawah pohon, tidak jauh dari tepi sungai. Saat sedang berkonsentrasi memusatkan pikiran, tiba-tiba perhatian pertapa itu terpecah kala mendengarkan gemericik air yang terdengar tidak beraturan. Perlahan-lahan, ia kemudian membuka matanya. Pertapa itu segera melihat ke arah tepi sungai di mana sumber suara tadi berasal. Ternyata, di sana tampak seekor kepiting yang sedang berusaha keras mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih tepian sungai sehingga tidak hanyut oleh arus sungai yang deras. Melihat hal itu, sang pertapa merasa kasihan. Karena itu, ia segera mengulurkan tangannya ke arah kepiting untuk membantunya. Melihat tangan terjulur, dengan sigap kepiting menjepit jari si pertapa muda. Meskipun jarinya terluka karena jepitan capit kepiting, tetapi hati pertapa itu puas karena bisa menyelamatkan si kepiting.

Kemudian, dia pun melanjutkan kembali pertapaannya. Belum lama bersila dan mulai memejamkan mata, terdengar lagi bunyi suara yang sama dari arah tepi sungai. Ternyata kepiting tadi mengalami kejadian yang sama. Maka, si pertapa muda kembali mengulurkan tangannya dan membiarkan jarinya dicapit oleh kepiting demi membantunya.

Selesai membantu untuk kali kedua, ternyata kepiting terseret arus lagi. Maka, pertapa itu menolongnya kembali sehingga jari tangannya makin membengkak karena jepitan capit kepiting.

Melihat kejadian itu, ada seorang tua yang kemudian datang menghampiri dan menegur si pertapa muda, “Anak muda, perbuatanmu menolong adalah cerminan hatimu yang baik. Tetapi, mengapa demi menolong seekor kepiting engkau membiarkan capit kepiting melukaimu hingga sobek seperti itu?”

“Paman, seekor kepiting memang menggunakan capitnya untuk memegang benda. Dan saya sedang melatih mengembangkan rasa belas kasih. Maka, saya tidak mempermasalahkan jari tangan ini terluka asalkan bisa menolong nyawa makhluk lain, walaupun itu hanya seekor kepiting,” jawab si pertapa muda dengan kepuasan hati karena telah melatih sikap belas kasihnya dengan baik.

Mendengar jawaban si pertapa muda, kemudian orang tua itu memungut sebuah ranting.Ia lantas mengulurkan ranting ke arah kepiting yang terlihat kembali melawan arus sungai. Segera, si kepiting menangkap ranting itu dengan capitnya. “Lihat Anak Muda. Melatih mengembangkan sikap belas kasih memang baik, tetapi harus pula disertai dengan kebijaksanaan. Bila tujuan kita baik, yakni untuk menolong makhluk lain, bukankah tidak harus dengan cara mengorbankan diri sendiri. Ranting pun bisa kita manfaatkan, betul kan ?”

Seketika itu, si pemuda tersadar. “Terima kasih, Paman. Hari ini saya belajar sesuatu.

 *Mengembangkan cinta kasih harus disertai dengan kebijaksanaan. **

*Di kemudian hari, saya akan selalu ingat kebijaksanaan yang Paman ajarkan.”

Mempunyai rasa belas kasih dan keinginan untuk menolong adalah perbuatan yang sangat mulia, entah perhatian itu kita berikan kepada anak kita, orangtua, sanak saudara, teman, atau kepada siapa pun termasuk rekan sekerja kita. Tetapi, kalau cara kita salah, sering kali perhatian atau bantuan yang kita berikan bukannya memecahkan masalah, namun justru menjadi bumerang.

Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa dan hanya sekadar berniat membantu, malah harus menanggung beban dan kerugian yang tidak perlu.

Karena itu, adanya niat dan tindakan berbuat baik, seharusnya diberikan dengan cara yang tepat dan bijak.

Dengan begitu, bantuan itu nantinya tidak hanya akan berdampak positif bagi yang dibantu, tetapi sekaligus membahagiakan dan membawa kebaikan pula bagi kita yang membantu.