26 Maret 2021

YANG KECIL - YANG MENJATUHKAN

 

Jatuh Terpeleset, Waspada Cedera Tulang Ekor


 

N

gobrol makan siang di Hotel Jambuluwuk Jakarta itu telah melambungkan ingatan saya kemasa lalu. Lebih dari 20 tahun yang lalu. Ketika ada kunjungan Presiden Direktur. Ketika Para Branch Manager diminta melakukan presentasi mengenai cabangnya masing masing.

Mas Gan teman makan siang saya itu - menanyakan.  Lebih tepatnya meminta konfirmasi.  Apakah fotocopy KTP yang saya serahkan itu betul betul KTP nya seorang Direktur ?

Saya tidak kaget mendengar pertanyaan itu. Dan saya sudah bisa menebak kemana arah pertanyaan itu.  Maka saya tidak perlu menanyakan balik dengan pertanyaan “mengapa”.

Saya langsung jelaskan. Dia sedang mengurus pembaharuan KTP nya.  Kalimat ini sekedar hanya  untuk save his ( Direktur ) face.  Aslinya ya, belum, bahkan tidak ada rencana mengurus pembaharuan KTP. Saya sudah pernah menanyakan itu. Memang KTP yang lama sudah tidak terbaca lagi fotonya. Dan sudah pudar pula huruf hurufnya.

Mas Gan kemudian    menceritakan apa yang dikatakan temannya.  Yang seorang Bankir.  Dia ketemu bankir itu untuk menjajaki pendanaan proyek baru.  Dengan jaminan property keluarganya. Yang taksiran nilainya ( appraisal value ) diatas 100 milyar rupiah. Dana ini rencananya untuk  dibuat joint investment  ke proyek baru.  Direktur proyek baru inilah  teman saya yang KTP nya saya serahkan kepada Mas Gan itu.

Sang Bankir yang ditemuinya mengatakan - Kalau Direktur ngurus KTP nya saja seperti ini, bagaimana dia mengurus proyeknya.  Kalimat inilah yang mengingatkan saya atas kejadian 20 tahun yang lalu itu.

Sang Bankir akhirnya tidak melanjutkan proses Analisa Kelayakan Usahanya. Dengan  melihat attitude Direktur memperlakukan KTP nya pendanaan proyek itu berhenti. Berhenti hanya pada KTP yang sudah sangat buram itu.

Inilah cerita 20 tahun yang lalu itu.

Setelah teman saya – Branch Manager – itu selesai memberikan paparannya. Kini giliran Bapak Presdir memberikan arahannya.  Apa yang harus dilakukan untuk memajukan cabangnya. Teman saya memperhatikan betul arahan itu. Dia mencatatnya – satu per satu. Diatas  stopmap berwarna kuning. Satu muka stopmap itupun penuh dengan tulisan tangannya. Yang berjejer tidak rapi. Tidak ditulis lurus seperti kalau dituis dibuku tulis. Ada yang ditulis melengkung menghindari gambar logo stomap. Ada pula yang ditulis melintang. Dan Pak Presdir memperhatikan itu.

Kemudian, dengan muka agak kecewa, beliau berkata.  Kamu mencatat arahan saya bukan pada tempat yang tepat. Kamu tulis asal asalan saja. Jangan jangan seperti itu pula cara kamu mengurus cabangmu. Semua peserta rapat terdiam. Saya merenungkan kata kata Pak Presdir itu. Dan beberapa diantara kami berebut menyodorkan kertas kosong kepada teman saya. Yang sedang berdiri didepan. Yang kelihatan salah tingkah itu.

Teman saya akhirnya juga resign. Saya tidak tahu apakah karena kalimat Pak Presdir itu. Ataukah karena ada penawaran dari perusahaan lain yang lebih menarik.

Mentor saya dulu sering menasehati. Jangan abaikan hal yang kecil. Karena yang kecil itu sering membuat orang terpelet, jatuh. Guru Management mengatakan : setan itu selalu bersembunyi pada hal yang kecil ( detail ).

Kalau kondisi toilet kantor itu bagus, bisa dipastikan ruang tamunya juga bagus. Tempat kerja lainnya juga bagus. Begitu kira kira yang sering diajarkan dalam pelajaran “service” dulu. Cara mengurus toilet sering membuat perusahaan gagal mendapatkan service award.

Teman expatriate saya mengatakan – sangat mudah untuk membuat orang menjadi pintar. Membuat karyawan pintar itu tidak butuh waktu lama. Cukup diajari. Disuruh belajar. Baca buku dan on the job.

Tapi untuk mengubah attitude seseorang perlu waktu yang lebih lama. Perlu ketelatenan. Harus dimonitor setiap saat. Dilakukan mentoring.

Ada satu training – attitudinal training namanya.  Training yang bertujuan membentuk attitude ( perlilaku ) seperti yang diinginkan.  Training ini harus on the camp. Dimonitor dan diawasi 24 jam. Perlu banyak orang yang terlibat. Waktu yang diperlukanpun lama. Paling tidak tiga minggu.

Awalnya banyak peserta yang tidak lulus dalam training ini. Bukan karena tidak ramah. Bukan karena tidak sopan. Tapi karena gagal membereskan tempat tidur.

Itulah attitude. Yang membuat orang dan perusahaan dihargai dan dihormati. Yang juga bisa membuat orang dan perusahaan dijauhi.

Saat ini banyak kita jumpai orang mengabaikan attitude. Mereka tidak memperhatikan unggah ungguh pergaulan. Saat menjabat sangat dihormati. Atau lebih tepatnya terpaksa dihormati. Kemudian saat tidak menjabat akan banyak dihujat.

Tentu ini tidak termasuk orang yang tinggal di rumah sampeyan.

#NA

#KSB250321


15 Februari 2021

TRUST

 

TRUST

Image result for wakaf tunai

 

B

eberapa hari terakhir ini; di Medsos sangat heboh. Baik yang setuju digalang Wakaf Uang. Maupun yang tidak setuju. Semuanya beramai ramai posting di twitter, What’s App Group, dan media lain. Mereka sama sama mengemukakan pendapatnya. Baik pendapat persetujuannya. Maupun pendapat ketidak setujuannya.

Sebetulnya hal ini baik  saja dilakukan. Asal dikemukakan dengan cara yang baik. Yang sopan. Bisa menambah wawasan pengetahuan masyarakat. Tapi kalau dilakukan dengan cara sinis, emosional akan merusak kebersamaan dan kerukunan di masyarakat.

Setelah saya amati. Secara hukum – tinjauan hukum fikih – pada dasarnya mereka semua menyetujui. Toh Majelis Ulama Indonesia sendiri sudah mengeluarkan fatwa. Sudah lama sekali – tahun 2002. Bahwa Wakaf Uang itu Hukumnya Mubah. Artinya boleh - tidak dilarang. Dan tidak pula tercela.

Yang mereka perdebatkan adalah siapa pengumpul wakafnya. Dan untuk apa wakafnya itu.

Banyak fihak menyuarakan agar wakaf diserahkan saja ke organisasi organisasi Islam besar. Merekalah yang sudah berpengalaman mengelola wakaf. Sudah teruji. Pun sudah terbukti ke-amanah-annya.

Apakah Pemerintah tidak amanah untuk mengelola wakaf ?

Banyak fihak masih meragukan. Belum terbangun kepercayaan ( trust ) yang kuat bagi pemerintah untuk mengelola wakaf. Dan Pemerintah tidak bisa memaksakan masyarakat harus percaya. Karena sifat trust itu tidak bisa dipaksakan. Orang percaya kepada orang karena orang itu memang layak dipercaya. Bukan karena dipaksa percaya. Bahkan oleh pemerintah. Atau fihak penguasa apapun.

Trust harus itu harus dibangun bukan dipaksakan.

Bagaimana caranya ?

Trust terbangun atas dua aspek.

Pertama, Karakter. Seberapa sering masyarakat merasa Pemerintah itu berbohong. Seberapa banyak janji janji pemerintah  tidak ditepati. Paling tidak masyarakat merasa pemerintah   tidak menepati janji janjinya. Itulah yang mendegradasi tingkat kepercayaan masyarakat. Yang akan membentuk image masyarakat terhadap karakter pemerintahan.

Karakter akan sangat ditentukan oleh Niat. Niat adalah fondasi utama karakter. Dari niat akan membentuk perilaku. Memang niat tidak bisa dilihat. Tapi perilaku bisa dilihat. Bagaimana dengan perilaku yang hanya acting atau settingan. Perilaku yang hanya settingan tidak akan bertahan lama. Pasti akan ketahuan. Pun yang dirasakan akan beda. Sesuatu yang dilakukan dengan niat tulus pastilah berbeda dengan perilaku yang dilakukan dengan hidden agenda.

Kedua, adalah kompetensi. Saya tidak pernah meragukan kejujuran istri saya. Tapi saya tidak berani mempercayakan vaksinasi diri saya kepadanya. Dia tidak punya kompetensi dibidang kesehatan. Dia bukan seorang dokter.

Kompetensi akan menentukan hasil. Kompetensi akan menentukan track record. Track record mereka yang baik bisa dipastikan mereka mempunyai kompetensi yang baik. Namun mereka yang mempunyai kompetensi yang baik belum tentu bisa menghasilkan tract record yang baik.

Seberapa lama pemerintah mempunyai kompetensi dalam pengelolaan wakaf yang sarat dengan trust itu. Itulah yang dilihat masyarakat.

Saya membayangkan. Seandainya peluncuran wakaq tunai itu dulu dilakukan oleh Pak Nuh tentunya gaungnya tidak seheboh ini. Gaung ketidak percayaan.

Pak Nuh adalah Ketua Dewan Wakaf. Pak Nuh dikenal akedemisi yang agamis. Penguasaan ilmu agamanya mumpuni, track recordnya baik. Amanahnya tidak diragukan.

Tapi, sayangnya Menteri yang pertama bicara adalah Menteri Keuangan yang dikenal sebagai Menteri yang gemar berhutang. Meskipun untuk pembangunan. Begitulah image yang terbangun dimasyarakat.

Itulah yang yang dikhwatirkan masyarakat. Jangan jangan dana wakaf dihutang untuk membangun jalan tol. Yang masa pengembaliannya luama sekali.

Itulah trust. Anda percaya ?

 

#NA

#Tretes100221

 

 

 

 

 

30 Januari 2021

INI NYATA. BUKAN ILUSI

 


K

alau melihat gelar akademisnya; dia orang yang sangat berpendidikan. Paling tidak, dia lulusan pasca sarjana. Entah dari mana, saya tidak tahu. Dan memang tidak perlu tahu.

Kalau melihat jabatannya, dia orang yang sangat penting. Sangat terhormat. Anggota DPR RI. Saya tidak tahu dari Dapil mana. Yang pasti mempunyai jaringan sosial yang sangatlah luas.  Tidak saja sangat luas. Tapi juga sangat high level. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa terpilih sebagai anggota DPR RI. Teman saya menyebutnya – Dia termasuk orang yang disegani.

Saya memang belum pernah bertemu langsung dengannya. Namun sudah beberapa kali melakukan pembicaraan  telpon.  Urusan pekerjaan.

Dari nada bicara, dia orang yang sangat tegas dan pintar. Saya menilai dia punya kemauan yang sangat besar. Bahkan cenderung dominan. Sifat yang biasanya dimiliki oleh pengusaha sukses. Dan dia termasuk salah satu diantaranya.

Minggu lalu saya melakukan pembicaraan telpon lagi dengannya. Cukup lama. Lebih dari setengah jam. Seperti biasa. Dia  yang banyak cerita dan mendominasi pembicaraan. Hanya kali ini, isi pembicaraannya beda dengan pembicaraan sebelumnya. Saat itu dia banyak bicara masalah Covid 19. Yang selama ini belum pernah disinggungnya.

Saya betul betul takut sekarang Pak. Tidak berani kluyuran lagi. Dah, WFH ( Work From Home ) saja. Lho, memangnya kemarin  tidak takut ? tanya saya agak heran.

Dia mengaku. Selama ini tidak begitu takut. Tidak begitu yakin dengan Covid. Dia masih pergi kesana kemari. Masih rapat kesana kemari. Ngurusi partai. Ngurusi businessnya. Berangkat pagi pulang malam. Bawah sadarnya masih menganggap Covid itu belum nyata. Covid masih  jauh.

Kini. Beberapa anggota keluarga besarnya terkena. Terpapar Covid. Yang ketika mencari kamar di Rumah Sakit begitu sulitnya. Untung dia pejabat. Banyak koneksi. Menteri dia telpon. Untuk membantu mencarikan kamar di Rumah Sakit.

Kini. Dia mengatakan dengan sangat yakin. Covid itu memang nyata. Bukan ilusi. Covid sudah sangat dekat dengannya. Dengan keluarganya.  Bahkan sudah menghampiri anggota keluarganya. Sudah ada diantara keluarganya.

Saya membayangkan. Kalau level dia saja kemarin kemarin masih menganggap Covid itu ilusi. Tidak nyata. Bagaimana dengan mereka yang ada di level bawah. Yang jauh dari informasi. Jauh dari ilmu pengetahuan.

Saya tidak berani lagi menilai mereka yang acuh terhadap protocol kesehatan itu orang yang tidak berpendidikan. Orang yang ngeyelan.

Beliau yang sangat well educated. Yang sangat well informed. Bahkan termasuk yang ikut menggodok peraturan dan kebijakan. Itu saja masih menganggap Covid ini belum nyata. Ini barangkali karena tertutupi oleh kemauan kerasnya. Barangkali tertutupi oleh target  besar yang dijanjikannya. Atau terpaksa dijanjikannya.

Memang. Terkadang. Ketika kita terlalu focus mengejar sesuatu. Kita lupa pada resiko. Kita lupa pada sesuatu yang membahayakan. Atau bahkan sudah tidak melihat sesuatu itu membahayakan.  Seperti ini. Berapa  banyak orang jatuh karena terpeleset kerikil kecil. Yang tidak pernah dianggapnya itu.

Saya kemudian berfikir, kayaknya ada yang salah dalam sosialisasi Covid ini. Dalam perilaku para panutan kita itu. 

Kebanyakan masyarakat  tidak membaca peraturan. Kebanyakan mereka tidak mengerti kebijakan. Yang mereka lihat adalah panutannya. Mereka mendengarkan apa yang panutannya omongkan.  Mereka meniru apa yang panutannya lakukan.  

Sesederhana itu bagi mereka. Meniru panutannya.   Namun tidak demikian bagi sang panutan. Yang dituntut menjadi suri tauladan.

Apakah sampeyan termasuk panutan itu ?

#NA

#KSB290121