29 Maret 2012

COMMITMENT TO WIN



Tahun 2007 kami diundang oleh Citibank untuk berkunjungan ke Trade Operation Centernya yang ada di Penang; Malaysia. Ada beberapa bank yang diajak serta.  Hari pertama setelah seharian visit dan berdiskusi dengan para officer setempat; kemudian kami diajak makan malam di satu Sea Food Restaurant.

Kebetulan saya satu meja; round table; dengan beberapa kawan bank swasta. Sebelah kanan saya pejabat dari Bank Ekonomi; berumur 65 tahun dan sebelah kiri saya pejabat dari bank swasta lain ( saya lupa banknya ) berumur sekitar 40 tahun.  Ketika acara makan dimulai. Makanan diletakkan diatas meja yang bisa diputar. Dari sekian banyak menu; saya cicipi semua; meskipun untuk udang dan kepiting porsinya tidak berani banyak; takut kolesterol. Sebelah kiri saya teman yang berumur 40 tahun; lebih muda dari saya;  sering memutar meja. Ketika saya tanya kenapa dilewatkan menu itu; dijawab tidak boleh sama dokter. Saya menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut; namun saya faham; berarti dia sudah ada banyak penyakit ( paling tidak kolesterol, tekanan darah tinggi; asam urat ). 

Sedangkan sebelah kanan saya; yang umurnya jauh lebih tua dari saya; namun  menu yang ada dimakan semua dengan porsinya yang lumayan banyak. Saya hanya menduga; ada dua kemungkinan. Yang pertama Bapak ini amat sangat sehat; kemungkinan kedua; Bapak ini hanya nekat; tidak peduli dengan kesehatannya. Sembrono dengan kesehatan.

Akhirnya saya tidak tahan juga untuk tidak bertanya.  Lalu sayapun bertanya; belum ada pantangan makanan  pak ? Belum; semua masih enak; jawabnya. Saya itu hobby makan; jelasnya. Saya tidak mau ada penyakit yang menghalangi hobi saya itu.  Bagaimana caranya, tanya saya.  Kayak gini; saya makan banyak; saya hitung berapa kalorinya; kemudian besuk pagi saya harus olah raga membakar kalori sebanyak yang saya makan. Kalau di Jakarta; meskipun hujan; saya tetap jogging pakai jacket. Itu semua saya lakukan demi hobby saya, yaitu Makan enak.  Terang Bapak 65 tahun itu. 

Beberapa minggu yang lalu saya diminta mengisi program Business Learning Session dan saya bawakan presentasi dengan topic  Grow with the Character. Bahan saya ambil dari tulisannya Hermawan kertajaya-Mark Plus yang pernah secara berseri dimuat di harian Jawa Pos.

Ada tiga komponen untuk Grow with Character; yaitu excellent; Professional dan Character.  Agar kita bisa mencapai tingkat excellent; yang pertama kita harus mempunyai  Commitment to Win. Disinilah kemudian saya teringat cerita yang saya tulis diatas. Bagaimana bapak yang berumur 65 tahun masih bisa makan apapun. Udang, cumi, kepiting; ok semua. Itu karena commitment beliau  atas hobbynya-MAKAN ENAK !!!  Jadi Win nya adalah Bisa Tetap Makan Enak.  Kalau hal ini sudah terpatri kuat; sudah menjadi commitment; bukan sekedar wacana; bukan sekedar keinginan; tapi  menjadi commitment pribadinya; maka secara otomatis dia akan mencari tahu bagaimana caranya. Itulah yang disebut build ability – membangun kemampuan. Bagaimana Caranya ?  dengan berolah raga yang teratur dan terukur . 

Ternyata olah raga yang teratur saja tidak cukup. Perlu juga diukur porsinya. Porsinya harus cukup sehingga bisa membakar kalori sebanyak yang dikonsumsi. Untuk itu; beliaupun  kemudian belajar bagaimana menghitung kilo kalori nya. Ini juga masih termasuk phase build ability.

Setelah abilitynya terbangun; kemudian perlu dilakuan improvement secara terus menerus ( continuous improvement ).  Saya pertama jogging di ITS hanya mampu berlari seperempat putaran kemudian berjalan. Namun pelan pelan saya naikkan  dan saat ini mampu 2 kali putaran sekali lari dan saya ukur harus mencapai lama 60 menit muteri lapangan. Lari kemudian jalan; lari lagi, jalan lagi, dst. Itulah yang disebut raise the bar setting.

Dari sekian phase; ternyata yang paling penting dan merupakan pengendali adalah membangun commitment to win nya. Bagaimana caranya ? Dahlan Iskan suatu saat mengatakan; kalau sudah menyangkut hidup mati; orang pasti akan berkomitmen dan berdisiplin melakukannya. Menyangkut hidup mati. Itulah yang didalam manajemen disebut sebagai creating sense of urgency/crisis. Jadi tidak harus urgent/crisis dalam arti yang sebenarnya.  Namun yang paling penting adalah Mendatangkan/menciptakan PERASAAN Hidup Mati.

Pernahkah kita membayangkan; bagaimana kondisi keluarga kita bila suatu saat kita kehilangan sumber penghasilan ?  Semua impian yang telah dibangun akan hancur berantakan. Anak anak tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Lalu setelah besar akan jadi apa ?  Kebahagiaan; martabat  keluarga akan menjadi taruhannya. Kalau sudah demikian; apakah kita tidak berkomitmen terhadap pekerjaan ? Ancaman akan membuat orang berjuang mati matian.  Kalau mampu menciptakan ancaman dalam hati; Insya Allah ancaman yang sesungguhnya tidak akan datang.

Apa buktinya kalau kita sudah punya komitmen ? Kalau sesuatu itu selalu menjadi bagian dari setiap doa  yang kita panjatkan. Kalau sesuatu itu menjadi topic setiap pembicaraan kita. Kalau sesuatu itu selalu muncul dalam angan angan dan impian. Kalau sesuatu itu selalu menjadi bagian dari yang kita browsing. Kalau sesuatu itu menjadi penyemangat kita.

Kalau itu itu semua tidak terjadi, berarti kita hanya ingin, hanya merupakan wacana kita dan belum menjadi komitmen kita.

Semoga menginspirasi …… ( KSB 21.00 )

27 Maret 2012

Waktuku istirahat ...



13 April 2009, jam 9.36 pagi, telepon berdering, membawa berita duka, salah seorang kawan saya hari ini diberikan ujian, anaknya dipanggil oleh Tuhan. 6 tahun, 3 bulan, 10 hari usianya . Usia yang semestinya hanya menyisakan keindahan, kelucuan dan kebahagiaan saja.



Saya membantu memegang jenasahnya dan menurunkannya ke liang lahat, dan ayahnya langsung yang menguburkannya. Ketabahan seorang ayah, saya lihat hari ini.



Sebelum jenasah dikuburkan, beliau berkata, bahwa usia 6 tahun adalah usia dimana anaknya masih belum baligh, belum mengenal istilah dosa, halal dan haram. Argonya belum jalan. Sehingga tidak perlu dimintakan maaf, kecuali maaf dari orang tuanya.



Bahwa kematian sang anak adalah nasihat yang sangat luar biasa, nasihat yang tidak ada lagi nasihat setelahnya.



Saya jadi teringat keluarga saya, betapa banyak waktu yang saya sia siakan, waktu yang seharusnya saya gunakan untuk anak anak saya, untuk istri saya, betapa masih banyak waktu yang belum maksimal saya gunakan untuk kebahagiaan mereka. Malah mungkin ada banyak waktu dimana saya mengecewakan mereka.



Saya masih sering kalah oleh kelelahan saya, oleh rasa kantuk saya, egoisme keinginan saya, sehingga saya berhenti bermain dan tidak memberikan mereka waktu saya.



Padahal, seharusnya saya bisa lebih berbagi. Jam 5.30 pagi saya ke kantor, dan sering sampai rumah jam 9 malam. Jam 11 kadang sudah tidur. Jadi hanya 2 jam untuk keluarga. 16 Jam di kantor, dan 6 jam untuk diri saya sendiri karena saya tidur. Betapa egois dan tidak proporsionalnya.



Ketika menurunkan jenasah siang tadi, saya tahu, sang anak beristirahat selama lamanya. Istirahat dari semua permainannya. Dan saya ? kenapa saya harus mengorbankan waktu keluarga saya karena saya mengantuk, lelah dan ingin beristirahat ? bukankah kelak saya akan punya waktu dengan cara beristirahat di liang lahat ?



Seharusnya saya tahu, seharusnya saya lebih meluangkan waktu untuk keluarga saya, karena saya masih punya waktu untuk beristirahat nanti, di sana, di liang lahat. Jika saya memberikan semuanya untuk keluarga saya, mustinya saya bisa beristirahat dengan baik di liang lahat.



Karena saya bisa tersenyum dan bercerita pada malaikat maut, bahwa saya sudah melakukan tugas saya dengan baik, tugas yang semestinya dan seharusnya saya lakukan. Keluarga !



Tuhan, beri saya kesempatan ….


( dari kiriman email seorang sahabat, thanks friend )

07 Maret 2012

UNTUK LULUS TIDAK HARUS MENGERJAKAN SEMUA SOAL DENGAN BENAR

Ketika saya dan rekan rekan mau mengikuti ujian sertifikasi perbankan yang diselenggarakan oleh Badan Sertifikasi Manajemen Resiko, rasanya campur aduk gak karu karuan. Ada kekhawatiran yang sangat mendalam; kekhawatiran tidak lulus. Kekhawatiran ini bertambah tambah ketika diberi tahu prosentase peserta yang lulus sangat kecil. Bertambah khawatir lagi ketika diberi tahu ada bimbingan test nya. Yang terbayang dan membentuk persepsi bahwa materinya memang luar biasa sulit, sehingga harus ada bimbelnya. Tambah takut ketika ada latihan soal. Dari sekian banyak peserta yang lulus bisa dihitung dengan jari. Melihat para peserta yang ketakutan dan menjurus ke kepanikan; maka instrukturnya kasih tahu bahwa untuk lulus hanya perlu nilai 66. Tidak harus semua soal dikerjakan dengan betul semua. Tidak harus mendapat nilai 100. Kerjakan soal urut dari nomor 1 sampai nomor terakhir.. Kalau ada soal yang sulit, lompatin saja dulu, jangan menghabiskan terlalu lama di soal sulit itu. Nanti kau akan kehabisan waktu. Ingat, untuk lulus anda hanya perlu nilai 66 !!! Begitu kira kira nasehat instrukturnya.

Demikian pula dengan kehidupan. Selama masih bernafas, manusia akan selalu menemui permasalahan. Mulai dari masalah yang kecil dan sepele sampai masalah yang besar. Sepele dan besar inipun sangat relatif. Masalah yang sama, bagi satu orang dianggapnya sepele tapi bagi yang lain dirasakannya sangat besar dan memberatkan. Tidak ada satu ukuran yang pasti untuk menimbang beratnya satu permasalahan. Sangat tergantung pada cara kita memandang masalah itu sendiri. Seperti halnya mengangkat barang/beban. Bila orang terbiasa mengangkat barang seberat 25 kg, maka barang seberat 20 kg akan terasa ringan. Sebaliknya barang seberat 15 kg akan terasa berat bagi yang hanya biasa mengangkat barang seberat 5 kg. Bangun jam 03.00 pagi akan terasa ringan bagi mereka yang sudah terbiasa bangun jam 3, namun akan terasa sangat berat bagi yang biasa bangun jam 6 pagi. Jadi terasa berat itu relative; tergantung kebiasaan kita.

Ketika saya masih kecil, masih belajar di SD; saya menuntun sepeda ( memegang sepeda sambil jalan ) yang dipakai ayah saya saja begitu beratnya. Bahkan hanya mampu menuntun sejauh 3 meter. Namun saat ini begitu terasa ringannya. Bukan karena berat sepedanya yang berkurang; namun karena kemampuan dan kekuatan saya lah yang bertambah. Pelajaran SD bagi anak kita yang masih SD sangatlah sulit; namun bagi pelajar SMP akan terasa mudah. Inipun bukan karena pelajarannya menjadi lebih mudah; tapi karena kemampuannya yang bertambah baik. Jadi terasa berat; terasa mudah itu relative; tergantung kemampuan.

Masalah juga bisa datang dari tempat kerja, dari keluarga dan teman, dari lingkungan, dan lain lain. Saya teringat ketika pertama kali ditunjuk sebagai budget coordinator. Belum punya pengalaman dan tidak mempunyai pengetahuan komputer. Karena takut gagal, maka saya datangi fihak-fihak yang biasa menyusun budget dan saya datangi pula teman-teman yang jago komputer. Meskipun tertatih tatih tapi akhirnya bisa selesai. Dan sekarang kalau untuk menyusun budget, insya Allah tidak masalah lagi bagi saya. Demikian pula ketika baru belajar nyetir mobil. Saat pertama kali belajar pasti mengalami kesulitan. Memerlukan konsentrasi, tidak mau diajak ngobrol, tidak mau menyalakan radio, karena semua masih harus difikir dengan penuh konsentrasi. Jadi akan terasa berat kalau tidak mau minta tolong kepada orang lain yang dapat meringankan bebannya.

Saya sering membaca di koran, banyak orang melakukan bunuh diri hanya karena masalah sepele. Sepele bagi kebanyakan orang dan barangkali sangat berat bagi yang bersangkutan. Mengapa berat ? Bisa karena masalah tersebut baru pertama kali datang kepadanya. Bisa karena masalah tersebut dibiarkan berlama lama ada di benaknya dan tidak dicarikan solusinya. Sekuat kuatnya orang; kalau harus memegang segelas air dalam waktu sehari tidak istirahat juga akan jatuh. Bisa juga karena orang tersebut tidak terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri. Biasanya setiap masalah diselesaikan oleh orang lain ( orang tua; saudara; suami/istri, dsb ), sehingga kemampuan menghadapi dan menyelesaikan masalah sangat rendah.

Terus bagaimana ? Masalah akan terasa ringan bila kemampuan kita meningkat menjadi lebih besar dari masalahnya. Masalah akan terasa ringan bila kita sering menghadapi dan menyelesaikannya. Masalah akan terasa ringan bila kita minta tolong orang lain.

Kalau tidak bisa ? Lompati saja; toh masih ada soal lain yang lebih mudah. Minta tolonglah kepada Yang Maha Pemberi solusi untuk dimudahkan urusannya. Minta tolong kepada Yang Maha Perkasa yang mampu meringankan beban seberat apapun. Yakin masih banyak soal berikutnya yang lebih gampang dan menyenangkan. Jangan habiskan waktu untuk memikirkan satu soal yang belum bisa diselesaikan. Kerjakan soal lainnya. Insya Allah akan lulus.

Toh untuk lulus tidak harus menyelesaikan semua soal dengan benar.

Semoga menginspirasi.