22 November 2012

SEMUA ADA ILMUNYA



Ketika pertama masuk Pendidikan di Perbankan; saya terheran heran melihat para teller menghitung uang begitu rapi dan cepatnya. Meskipun ada mesin penghitung uang yang ada dibelakangnya namun mereka lebih banyak menghitung dengan tangannya. Ketika saya tanya mengapa tidak pakai mesin penghitung uang saja ? Mereka menjawab; dengan menghitung pakai tangan; kita akan tahu uang ini palsu atau tidak ? wah; saya lebih terheran heran lagi. Jadi dengan tangannya mereka bisa mengetahui uang palsu ? Hebat !!! Namun kami tidak berani tanya lelbih details kepada para teller karena akan mengganggu kerja mereka. Pertanyaan itu saya catat dulu dan akan saya tanyakan pada sore hari.
Sore harinya; pertanyaan itu saya sampaikan kepada cash officer; yaitu pimpinan yang bertanggung jawab di kassa. Dari beliau saya mendapat jawaban bahwa mereka para teller telah di latih dan diberikan training mengenai perkasan ( sesuatu yang berhubungan dengan kassa ). Mereka dilatih cara menghitung uang dengan menggunakan kelima jari tangan kanannya; sehingga mampu menghitung lebih cepat dan rapi. Mereka dilatih mengenali uang asli dan yang diduga palsu dengan mengenali bahan kertasnya; tekstur kertasnya. Dengan meraba kertas uang mereka akan tahu “keanehan”  uang yang diduga palsu. Itu semua ada ilmunya dan bisa dipelajari, kata cash officernya kala itu.
Kemudian setelah saya lulus dari pendidikan dan mulai menjadi officer; saya pun mulai belajar menghitung uang. Dan setelah tahu ilmunya; tahu tekniknya; akhirnya sayapun bisa menghitung uang dengan kelima jari tangan saya. Dengan gaya diputar seperti membentuk kipas yang diputar searah jarum jam.
Saya juga pernah dibuat heran melihat teman saya memasang lampu. Dia pasang lampu dengan tanpa mematikan aliran listriknya. Saya berteriak mengingatkannya untuk segera mematikan aliran listriknya. Mendengar teriakan saya dia malah tanya sambil tersenyum; mengapa harus dimatikan ? Awas kesetrum, jawab saya dengan masih agak panik. Dengan santainya dia berujar; kalau tahu ilmunya Insya Allah tidak kesetrum. Listrik itu juga punya sifat. Kalau kita ikuti sifat listrik tentu tidak kesetrum.  Oh.. jawab saya sambil membandingkan ketika saya memasang lampu. Aliran listriknya dimatikan; pakai alas kaki; dan bertumpu di meja kayu. Kalau tahu ilmunya tentu akan lebih gampang hidup ini.
Untuk tahu ilmu harus belajar. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang langsung bisa. Semua berawal dari tidak bisa; kemudian belajar dan menjadi bisa. Kalau sudah bisa dan menjadi biasa akhirnya menjadi mahir dan ahli. Kalau sudah mahir dan ahli maka semuanya dapat dilakukan dengan seakan akan tanpa mikir. Semua mengalir. Yang kerja bukan lagi fikiran sadarnya  ( consious mind ) namun fikiran bawah sadarnya ( unconsious mind ).
Itulah kira kira learning process. Berawal dari tahap tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Tahap ini adalah tahap yang paling berbahaya. Karena orang itu tidak tahu; tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Bawaannya ngotot. Dan tentu tidak mau belajar karena dia tidak merasa tidak tahu.
Karena menghadapi persoalan; terlibat masalah; kepentok sana kepentok sini; akhirnya orang ini sadar bahwa ternyata dirinya tidak tahu. Inilah penemuan mental yang hebat. Merubah paradigmanya; merubah perilakunya dari ngotot sombong ke perilaku penyadaran bahwa dirinya bukanlah orang yang paling benar; paling pintar. Karena sekarang sudah sadar bahwa dirinya tidak tahu; maka secara otomatis dia akan belajar; cari tahu.  Saya yang menjadi sadar tidak tahu sifat listrik kemudian bertanya; dan tahu. Sekarang kalau masang lampu tidak seheboh dulu lagi.
Ketika sudah tahu; dan itu dilakukan terus menerus maka akhirnya kita sendiri lupa bahwa diri kita sudah tahu. Sekarang kita lupa bahwa kita sudah mampu membaca. . Kita tidak menyombongkan diri lagi bahwa kita sudah bisa membaca. Nah; pada level inilah yang disebut dirinya tidak tahu bahwa dirinya tahu. Orang pada level inilah yang mampu memenuhi pepatah ilmu padi; makin berisi makin merunduk. Pada level inilah kematangan seseorang tercapai. Pada level inilah seseorang menjadi bijak.
Justru pada level ini; seseorang haus ilmu. Dia ingin mencari ilmu yang lebih dalam lagi. Pada level ini seseorang merasa dirinya seperti gelas kosong yang siap diisi. Bandingkan dengan orang yang levelnya baru tahu dirinya tahu. Dia merasa dirinya seperti gelas penuh. Apapun yang berusaha dimasukkan kedalamnya akan tumpah. Orang dilevel inipun akan sombong. Merasa dirinya paling tahu. Sama dengan ketika level tidak tahu dirinya tidak tahu.
Ilmu Tuhan begitu luasnya. Bila pohon yang ada didunia ini dipakai untuk menulis dan air di lautan sebagai tintanya dan ditambah lagi sebanyak tujuh kalinya; niscaya tidak akan cukup untuk menulis ilmu Tuhan.  Lalu mengapa kita tidak berusaha mempelajari sebanyak banyaknya ilmu itu.
Dengan ilmu kehidupan dapat dijalani dengan lebih gampang. Pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat. Produktifitas akan semakin meningkat yang berarti rezeki semakin meningkat. Rezeki yang semakin banyak memungkinkan berbagi dengan lebih banyak. Dengan disertai rasa syukur; kehidupan menjadi tenteram; keluarga bahagia. Keluarga bahagia berefek ke kehidupan kemasyarakatan yang lebih baik lagi.
Dengan ilmu pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat. Waktu untuk keluarga dan kehidupan sosial semakin baik. Rajutan kasih sayang keluarga dan sekitarnya semakin baik. Kebahagiaan dapat diraih dan dibagikan kepada sekitarnya.
Semoga ……


2 komentar:

  1. Mantap
    Saya baru sadar saya ibarat gelas yang terisi air penuh
    Sulit menerima pendapat orang lain

    BalasHapus