05 Desember 2024

TANYA LEK DAH

Pengertian Kata Tanya, Ciri, Jenis, dan ...

Oleh Noor Aidlon 

K

ami masuk rumah Lek Dah lewat pintu pertama. Ada tiga atau empat pintu untuk masuk ke rumah. Masing masing ada ruang tamunya. Memang rumah itu memanjang ke belakang, disamping juga melebar.

Kami menunggu di ruang tamu. Ada sofa panjang, sepanjang dinding ruang tamu. Menempel di dinding, membentuk huruf L. Ada dua atau tiga meja tamu yang diatasnya ada beberapa stoples dan air mineral. Ada lagi satu meja sudut dan satu kursi menempel disudut lain.

Tidak lama Lek Dah keluar menemui kami. Tersenyum, menyapa dan memeluk keponakannya. Lama sekali mereka berpelukan.  Keponakannya bilang; ini pengganti ibu ( almarhumah ).

Lek Dah kemudian cerita hari hari terakhir Dik Udin. Tidak banyak yang diceritakan. Dan kamipun sudah tahu cerita sakitnya. Yang dideritanya cukup lama.

Belum lama Lek Dah bercerita, masuklah seorang Bapak. Beliau pengajar dari salah satu pondok pesantren di Jombang. Sebelum ke rumah, beliau mampir dulu ke makam Dik Udin.

Mas Udin ini banyak jasanya kepada kami dan keluarga, katanya. Kalimat ini diulangnya lebih dari 3 kali. Untuk menekankan betapa baiknya dik Udin semasa hidupnya. Saya sendiri tidak tahu jasa apa yang telah diterima Bapak ini.

Mas Udin ini orangnya baik. Banyak pondok pesantren dan teman temannya yang dibantu. Rezekinya mengalir deras. Pernah punya 5 truk Fuso besar. Rumah yang dibangun disana itu – sambil menunjuk ke arah depan - bagus dan besar sekali. Lebih besar dari rumah ini. Cerita Bapak itu lagi.

Nggih. Udin itu pintar dan mudah cari uang. Uangnya mengalir terus. Tapi juga mudah tertipu orang. Udin itu gampang percaya pada orang lain. Begitu Lek Dah menimpali.

Lek Dah ini juga rezekinya mengalir terus. Sejak dulu sampai saat ini. Diantara saudara saudara kandungnya. Lek Dah yang paling berada. Beliau suka membantu saudaranya. Baik ketika diminta ataupun tidak. Adik adiknya banyak yang dibiayai sekolahnya. Pun nikahnya.

Sampai saat ini saya masih bingung, kata Lek Dah.

Anak anak sudah saya berangkatkan haji semua, Lek Dah memberikan muqadimah. Tidak hanya sekali. Tapi berkali kali. Udin ini kalau tidak salah sudah berangkat haji 4 atau 5 kali. Kalau saya sendiri mungkin 7 atau 8 kali. Zaman itu mau berangkat haji masih bebas. Bisa setiap tahun. Tidak seperti saat ini yang antriannya panjang sekali.

Lek Dah bingung, mau haji koq seperti mau pergi ke Surabaya saja. Malam rasan rasan ingin berangkat haji, paginya langsung daftar. Tidak hanya satu orang, tapi bisa 4 – 5 orang. Padahal dana untuk berangkat haji itu belum tersedia.

Tapi anehnya, pas waktu pelunasan, dana itu ada. Cukup untuk yang berangkat dan cukup untuk yang di rumah. Modal dagang tidak berkurang. Pun tidak perlu jual tanah pekarangan. Itu yang tidak masuk di fikiran Lek Dah, sampai sekarang. Itu yang menjadikan Lek Dah bingung.

Itulah kekuatan keyakinan. Kekuatan berprasangka baik pada Tuhan. Tuhan pasti akan memberikan jalah keluar. Orang niatnya baik, dilakukan dengan cara baik, masak Tuhan tidak membantu. Begitu kira kira keyakinannya.

Saya teringat kisah teman saya. Dia berniat pergi haji bersama istrinya. Dibukalah tabungan untuk menampung dana hajinya. Tabungan hanya boleh disetor tapi tidak boleh diambil. Ternyata sampai dia pulang hajipun, tabungan itu masih utuh. Biaya hajinya dibayar dari tabungan sehari harinya. Ada saja rezeki yang didapat.

Banyak kisah serupa. Namun sedikit yang yakin. Sedikit yang meniru.

Lek Dah mempersilakan kami ke rumah belakang. Keluarga almarhum dik Udin ada disana.

Kami masuk ruang tamu. Tidak ada tamu lain. Kami duduk diatas karpet. Diatas karpet ada buah pisang dan beberapa kue.

Istri dan putra putri Dik Udin menemui kami. Istrinya cerita mengenai kondisi almarhum pada hari hari terakhir.

Perhatian saya terbelah. Saya lirik ada mikrofon di belakang saya. Terpasang lengkap pada sound systemnya. Untuk apa mikrofon ini. Apakah setelah tahlilan tadi malam tidak dibereskan, tanya saya dalam hati.

Ditengah kegalauan saya, datanglah rombongan tamu dari Jombang. Satu mobil Elf penuh. Dari salah satu pondok pesantren di Jombang. Salah satu adik ipar almarhum adalah pengajar di pondok pesranten itu.

Saya bergeser ke ruang tamu sebelahnya. Ruang tamu kini penuh. Ada tamu perempuan dan ada tamu laki laki. Mereka saling menanyakan kabarnya. Saling bertukar cerita.

Tiba tiba, anak almarhum yang paling tua membawa mikrofon ke depan. Diserahkan kepada salah satu ustadznya. Mereka mengajak membaca tahlil dan doa untuk almarhum dan keluarga.

Saya baru sadar. Inilah gunanya mikrofon yang selalu terpasang itu. Yang sewaktu waktu bisa dipergunakan.

Inilah adab santri ketika bertakziah. Tidak hanya menyampaikan bela sungkawa dan menghibur keluarga yang ditinggalkan, tapi juga mendoakan almarhum yang sudah berada di alam yang berbeda.

Saya pernah mengalami hal yang sama. Saat itu kami kedatangan tamu dari Sumenep, Madura. Untuk menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Ibu saya beberapa minggu sebelumnya. Tiba tiba Pak kyai dari Sumenep minta nama lengkap Ibu saya ( almarhumah ) termasuk binti nya. Juga nama Bapak saya ( almarhum ) termasuk bin nya.

Kemudian merekapun membacakan tahlil dan doa untuk kedua orang tua saya yang sudah wafat.

Ya, itulah adab mereka. Adab orang orang sholeh pesantren. Tidak hanya baca doa kepada si mayit, tapi juga baca tahlil lengkapnya.

Kini, sudah saatnya saya harus menyimpan bacaan tahlil lengkap di handphone saya. Siapa tahu sewaktu waktu diperlukan.

Panjengan sampun ? ( NA, 0512124 )



01 Desember 2024

Rumah Lek Dah

 Curug || Jalan Selatan Talegong Cisewu ...

Oleh Noor Aidlon 

L

ek Dah. Begitu kami memanggilnya. Beliau ini adek kandung ibu mertua saya. Ibu anak pertama. Lek Dah anak ke empat. Umur lek Dah dan ibu tidak terpaut banyak. Seperti sepantaran. Sepermainan. Beliau sangat akrab, sejak masih kecil sampai tuanya.

Beberapa minggu lalu. Kami berkunjung kerumah lek Dah di daerah Senori. Masuk wilayah Tuban. Tuban kemringat, Tuban pedalaman, kata teman saya.

Dari Surabaya 3,5 jam perjalanan mobil. Tidak begitu jauh. Tapi juga tidak begitu dekat. Hanya separo dari perjalanan mudik kami yang 7 atau 8 jam.

Menurut google map, lebih dekat dan lebih cepat lewat jalur Lamongan – Babat. Saya ikuti saja arahan mapnya Google itu. Toh selama ini saya belum pernah dibikin pusing olehnya. Toh perjalanan di pagi hari. Pun kalau kesasar gampang kembalinya.

Perjalanan Surabaya - Babat, saya tidak memerlukan bantuan google map. Saya sudah hafal betul jalan itu. Tahu daerah mana yang biasanya macet dan ruas jalan mana yang banyak lubangnya.

Masuk daerah Widang ( sebelah barat Babat ) saya mulai pasang google map. Saya buta dan tidak tahu sama sekali daerah itu. Saya memerlukan peta panduannya.

Kami diarahkan belok ke kiri dan masuk jalan yang lebih sempit.  Saya ikuti saja arah peta. Lurus terus. Jalannya beraspal mulus tapi sempit. Sempit tapi mulus. Kiri kanan jalan berupa bentangan sawah yang sangat luas. Hijau sepanjang mata memandang. Hijaunya tanaman padi yang baru berumur kurang lebih sebulan.  Padinya masih belum bunting, dan masih memerlukan banyak pupuk.

Dipinggir jalan beberapa tanaman keras bertengger kokoh. Saya tidak tahu jenis tanaman apa. Bapak/Ibu tani bisa berteduh di bawah pohon itu. Berlindung dari sengatan matahari yang terik.

Saya lihat bapak/ibu tani mulai mentas dari sawah. Ada yang sudah dijalan raya naik sepeda ontelnya. Namun lebih banyak yang naik sepeda motor. Sinar keikhlasan tercermin dari wajah dibawah capingnya. Itulah petani.

Alam telah mengajarinya menjadi orang yang ikhlas, sabar dan tawakal. Tidak jarang padi yang siap dipanen itu lenyap. Diterjang banjir. Ataupun habis dirayah tikus. Namun mereka tetap tegar. Tetap sabar.  Belum rezekinya, kata mereka. Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Keyakinan mereka. Itulah yang diajarkan oleh agamanya.

Lalu saya teringat masa kecil.  Di desa dulu. Teringat bagaimana nikmatnya makan di tengah  sawah, sambil duduk di pematangnya. Meskipun hanya dengan lauk telur dadar. Telur dadar yang dicampur parutan kelapa. Tapi nikmatnya sundul langit. Menurut saya. Saat itu.

Saya pernah bertanya ke ibu, mengapa dicampur parutan kelapa. Biar babar, kata ibu pendek. Babar artinya bisa menjadi banyak dan mencukupi orang banyak. Dengan 2 butir telur bisa dijadikan 6 – 8 porsi. Telur merupakan makanan mewah saat itu. Bagi kami dan tetangga kami.

Jalan desa itu mengarah ke daerah Rengel. Saya sering dengar nama Rengel. Kami punya Pak Lek disana.  Sering bertemu di acara pertemuan keluarga. Namun hanya sekali sowan ke rumahnya. Itupun sudah lebih dari sepuluh tahun lalu.

Lepas rengel, belok kanan. Lurus. Jalan itu diapit oleh hutan. Saya tengok sinyal handphone saya yang mulai melemah. Google map itupun sering tidak sesuai. Sering terlambat. Dan sayapun kebablasan.

Saya minta istri dan adek saya menyalakan juga google map. Sebagai back up. Kalau kalau sinyal di handphone saya lenyap.

Jalan kecil diantara hutan itu sepi. Lepas hutan ketemu bentangan sawah lagi. Saya lihat tanaman tembakau ada dimana mana. Juga subur. Tampak sudah dipetik daunnya. Perkiraan saya, tembukau ini untuk konsumsi pabrik rokok dalam negeri. Bukan untuk dijual export.

Tembakau untuk pabrik rokok, daunnya tidak perlu lebar. Karena akan dijual dalam bentuk rajangan yang sudah dikeringkan. Tembakau ini akan dipakai sebagai isian ( filler ) rokok.

Ada satu jenis lagi. Tembakau untuk konsumsi export. Biasanya untuk cerutu. Tembakau dijual dalam bentuk daun lembaran. Harganya berkali kali lipat dari harga tembakau filler. Daunnya tidak boleh ada yang lubang. Sekecil apapun. Daunnya harus lentur, tipis dan berminyak. Kalau digulung tidak robek. Inilah yang akan dipakai untuk bagian luarnya cerutu. Kita tahu cerutu bagian luarnya terbuat dari tembakau. Bukan kertas, seperti rokok.

Saya tengok google map lagi. Tinggal 4 KM lagi - akan sampai. Tapi jalan masih kecil yang berada di tengah pemukiman pedesaan. Saya melewai rumah yang lagi hajatan. Pengeras suaranya ditaruh dipinggir jalan.  Suaranya keras sekali - mendendangkan Lagu ndang ndut nan terdengar merdu. Beberapa sepeda motor diparkir di pinggi jalan. Belum banyak jumlahnya. Mungkin habis dzuhur acara hajatannya.

Keluar dari jalan kecil. Ketemu jalan besar. Saya mengenali jalan itu. Ada masjid di halaman sekolah. Dulu saya pernah sholat disitu. Rumahnya Lek Dah sudah dekat. Berada di seberang pasar Senori.

Ada toko besar. Itulah tokonya Lek Dah. Rumahnya dibelakang toko itu. Besar sekali. Panjang sekali. Rumah itu tampak sepi. Masih dalam suasana duka. Lek Dah baru saja ditinggal lagi oleh salah satu putranya. Dik Udin telah mendahului kami. Semoga diampuni dosanya, diterima amal baiknya dan di lapangkan kuburnya.

Dik Udin, kami pasti akan menyusul. Kalau sampeyan mau duluan, ya monggo ... ? ( NA, 011224 )