Oleh Noor Aidlon
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya - Al Qur’an - An Najm 39
E |
instein ( 1879 – 1955 ) pernah mengatakan : Hanya kegilaan, apabila mengharapkan mendapat hasil yang berbeda dengan terus menerus melakukan hal yang sama. Mungkin saja Einstein terinspirasi dari ayat Al Quran tersebut. Mengingat isinya sama dan beliau juga gemar mempelajari filsafat. Tapi mungkin juga tidak.
Steven Covey pernah menjelaskan lebih lengkap dalam See – Do – Get Model. Bahwa cara kita melihat, memahami dan memaknai sesuatu akan menentukan tindakan yang dilakukan. Dan tindakan yang dilakukan akan menentukan hasil yang didapat.
Covey kemudian menekankan : kalau ingin mendapatkan hasil yang jauh berbeda - hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah Paradigma. Dengan mengubah paradigma, akan mengubah cara pandang dan pemaknaan terhadap sesuatu.
Mengubah pemaknaan, akan mengubah tindakan yang dilakukan. Dan dengan mengubah tindakan akan mengubah hasil yang didapat.
Hal tersebut dijelaskan tersebut secara apik dalam bab shifting paradigm. Dalam bukunya yang fenomental – Seven habits of highly effective people (1989).
Dulu, saya sering mengatakan : Kalau kita memaknai tugas yang diberikan ini sebagai beban, ya akan menjadi beban betulan. Yang tentu akan terasa berat. Pemaknaan seperti ini biasanya dilakukan oleh seorang yang malas yang kehilangan motivasi.
Tapi bagi orang yang ingin maju, tugas itu akan dilihat sebagai kesempatan untuk mempelajari hal hal baru. Kesempatan untuk maju dan berkembang. Makanya akan sangat enjoy dan happy saja dalam menyelesaikannya.
Mereka yakin – semakin tinggi kedudukan seorang, akan semakin tinggi tanggung jawabnya. Dan akan semakin banyak tugas yang harus diselesaikannya.
Itulah kekuatan paradigma – cara pandang dan cara memaknai sesuatu.
Demikian pula dengan ibadah puasa. Cara kita memaknai puasa akan sangat berpengaruh dalam kita melaksanakan peribadahan di bulan Romadlon.
PERTAMA, Ada yang memaknai puasa sebagai kewajiban. Tentu mereka akan melakukan puasa hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Yang penting puasa tidak batal, yakni tidak makan minum dan bergaul suami istri pada siang hari. Tidak lebih tidak kurang. Sangat minimalis.
Itulah puasanya orang awam. Puasanya orang kebanyakan. Mereka tidak termasuk golongan yang menyambut Romadlon dengan suka cita.
Kalau diperbolehkan menyiasati kewajiban puasa, pasti akan dilakukannya. Seperti menyiasati kewajiban membayar pajak.
KEDUA, Ada yang memaknai puasa sebagai momentum untuk meraih kemuliaan. Tentu mereka ini akan melakukan puasa dengan lebih baik lagi. Tidak sekedar menghindari dari hal yang membatalkan puasa. Tapi juga akan memperhatikan hal hal yang bisa merusak, mengurangi pahala puasanya, yaitu menggibah, berdusta, mengadu domba, melakukan sumpah palsu, dan mengumbar syahwat.
Mereka ini juga akan bersemangat melakukan ibadah ibadah tambahan, ibadah yang hukumnya sunah. Disamping itu, mereka sebisa mungkin menjaga anggota tubuh untuk tidak berbuat dosa.
Dengan mendapat kemuliaan disisi Allah mereka berharap, nantinya akan ditempatkan di surga level VIP. Inilah puasanya orang orang pilihan. Puasa khusus, namanya.
Mereka ini akan sangat bersuka cita menyambut datangan bulan Romadlon. Seperti suka citanya menyambut datangnya pembagian bonus dan bulan diskon.
KETIGA, Ada yang memaknai puasa sebagai manifestasi pengabdian yang mendalam kepada sang pencipta. Mereka akan melakukan puasa dengan cara yang lebih baik lagi.
Disamping melakukan seperti dalam kelompok kedua diatas, mereka juga selalu menjaga hati agar terhindar dari penyakit hati yang bisa merusak keikhlasan. Inilah puasa level tertinggi. Imam Ghozali menyebutnya sebagai puasa khusus - khusus. Puasa hati.
Mereka ini sadar betul bahwa sang pencipta telah begitu baik menciptakan bumi dan langit serta seisinya - diperuntukkan bagi manusia. Semuanya, seutuhnya.
Mereka begitu yakin bahwa sang pencipta telah mencukupi rezekinya. Mereka yakin betul sang pencipta mengurus semua urusannya.
Allah – sang pencipta telah memberikan nikmat begitu banyaknya. Tak ternilai dan tak terhitung jumlahnya. Mereka ingin selalu berada di dekat Nya, agar bisa terus mengabdi kepada Nya. Tanpa memikirkan imbalan yang akan didapat. Apalagi menuntutnya.
Bak seorang anak yang baik, tidak akan menuntut upah ketika disuruh melakukan sesuatu oleh orang tuanya. Dia akan mengerjakan dengan sebaik mungkin. Sepenuh hati. Yang penting bisa menyenangkan hati orang yang menyuruhnya. Yaitu orang tuanya sendiri.
Menurut mereka, malu rasanya menuntut imbalan dari Allah yang telah memberikan banyak hal.
Toh Allah Maha Mengetahui dan tidak pernah sare. Apa yang dilakukan hambanya, Allah selalu pirso. Allah telah berjanji akan memberikan imbalan bagi hamba Nya yang mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Nya. Bukankah Allah adalah sebaik baik penepat janji.
Tidak seperti kita yang paling sulit dipegang janji. Saya tidak sedang membicarakan panjenengan lho.
Semoga kita mampu mengubah cara pandang kita terhadap puasa dengan pemaknaan yang lebih mendalam. Meskipun dengan text dalilnya sama, yaitu surat Al Baqarah 183.