Oleh Noor Aidlon
KINI, semakin banyak saja lahir
kebenaran baru. Ini akan terus menerus terjadi seiring dengan semakin banyaknya
pengguna media sosial. Memang media sosiallah yang sangat subur, sangat cepat
melahirkan kebenaran kebenaran baru. 
Kebenaran baru.  Istilah ini diperkenalkan oleh Dahlan Iskan. Dulu, kami menyebutnya kebenaran umum. Kebenaran universal. Benere wong akeh.  Kebenaran yang disepakati orang
banyak. Semakin banyak yang menyepakatinya, semakin luas tingkat
ke-univeral-annya. 
Sering kali kebenaran baru ini tidak diketahui siapa yang pertama kali memperkenalkan. Contohnya seperti mitos itu. Tidak pernah ada yang tahu siapa pencetus mitos itu.
Dulu, kebenaran baru ini diviralkan dari mulut ke mulut. Prosesnya sangat lama untuk diakui sebagai kebenaran baru. Sekarang lebih banyak disampaikan melalui media sosial yang prosesnya luar biasa cepatnya. Cepat diakuinya menjadi kebenaran baru dan cepat pula dilupakannya.
Kebenaran baru ini akan tumbuh subur pada masyarakat yang kurang mau berfikir kritis. Yang tidak pernah mempertanyakan sumber rujukannya. Pun alur logikanya. Apalagi melakukan pengecekkan. Yang ada mereka berlomba cepat cepatan memposting ulang. Menyebarkannya. Ada rasa bangga telah berhasi menyebarkan berita baru. Bangga merasa dirinya menjadi golongan yang melek informasi. Golongan yang awal mendapat update informasi.
Ada rasa takut disebut ketinggalan berita. Ketinggalan zaman. Inilah salah satu penyakit yang banyak menghinggapi masyarakat saat ini – FOMO ( Fear of Missing Out ). Yang menjadikan sebagian masyarakat depresi. Kata hasil penelitian.
Yang namanya hasil kesepakatan umum, tentu kebenaran baru ini tidak langgeng. Bisa berubah sejalan dengan perubahan nilai nilai dan tatanan sosial yang ada di masyarakat. Hari ini diyakini sebagai kebenaran, bisa jadi bulan depan sudah tidak lagi nampak benar. Ada kebenaran baru lagi yang menghapus kebenaran lama.
Beda dengan kebenaran hakiki. Kebenaran yang tidak akan pernah berubah. Kebenaran dari Tuhan.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ 
Katakanlah
( Nabi Muhammad ), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu ( Al Quran surah Al
Kahfi ayat 29 ).
Untuk mengetahui kebenaran hakiki, orang harus ngaji, membaca kitab suci dan
hadis Nabi serta rujukan rujukan kitab lain. Sedangkan untuk mengetahui kebenaran baru
orang hanya cukup membaca media sosial. Yang bisa dilakukan dimana saja. Kapan saja.
Ditengah rapat, bahkan dalam acara kajian agamapun masih menyempatkan membuka
media sosial. 
Survey yang dilakukan tahun 2021 menemukan fakta bahwa masyarakat Indonesia
menghabiskan waktu 3 jam 14 menit per hari untuk membaca media sosial. Survey
lain menemukan rata rata masyarakat membuka handphone setiap 5 - 6 menit. Ya, bukankah itu juga yang menjadi kebiasaan kita. Membuka Handphone setiap 5 menit sekali.
Ini
menunjukkan bahwa pengguna handphone disamping sangat sering membuka handphonenya
juga sangat lama menghabiskan waktunya di depan layar Handphone.
Bagaimana dengan orang membaca Al Quran. Survey 2022 menemukan 72.5% umat Islam
belum bisa membaca Al Quran. Data ini meningkat dari hasil survey sebelumnya.
Survey Th 2020 59% dan th 2021 65% umat belum bisa membaca Al Quran.  
Dari yang sudah bisa membaca Al Qur’an, hanya 10% yang membaca setiap hari, 40% membaca beberapa kali dalam seminggu dan 40% membaca beberapa kali dalam sebulan. Dan durasi waktu membaca rata rata hanya 10 – 15 menit.
Meskipun belum ada data penelitian, namun dari pengamatan sehari hari bisa diketahui bahwa yang membaca Al Quran pun tidak selalu memahami isi dan maknanya. Hanya sebatas membunyikannya.
Dari
data tersebut bisa disimpulkan bahwa pemahaman kebenaran baru jauh lebih cepat dibanding dengan pemahaman kebenaran hakiki. Dan itu
artinya penyebaran atas kebenaran baru akan lebih cepat dari penyebaran
kebenaran hakiki.
Betul. Kebenaran baru tidak selalu bertentangan dengan kebenaran hakiki. Namun juga tidak berarti selalu sama dengan kebenaran hakiki. 
Untuk itu para cerdik pandai, para alim ulama, para ustad dan kaum muslimin
harus berjuang mengimbangi kecepatan lahirnya kebenaran baru. Caranya dengan
lebih rajin menulis di media sosial.
Kalau tidak, maka kebenaran baru itu akan diyakini sebagai sebuah kebenaran
dengan derajat yang sama dengan kebenaran hakiki.
لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ 
Sungguh
aku akan menjadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi dan sungguh
aku akan menyesatkan mereka semua ( Al Hijr 39 ) 
Kalau media sosial telah terbukti mampu melahirkan kebenaran baru, maka media
sosialpun akan mampu menegakkan kebenaran hakiki. Apalagi seperti kita ketahui,
saat ini masyarakat sudah banyak yang bertanya apa saja ke Artificial Intelligent
( AI ), termasuk bertanya mengenai soal agama. Dan AI akan memberikan jawaban dengan
merujuk pada apa yang ada dan ditulis di internet. Kalau yang ditulis di internet
salah, maka AI akan melahirkan pendapat yang sesat dan menyesatkan.
Untuk menyemangati, mari kita renungkan hadis ini. 
Jika suatu kaum melakukan perbuatan dosa padahal di tengah mereka ada orang
yang lebih mulia dan lebih banyak jumlahnya, namun mereka tidak mencegahnya,
maka Allah akan menimpakan adzab kepada seluruh kaum itu 
( HR Ahmad, disahihkan oleh Al Albani ).
Dan panjenengan termasuk orang yang mulia itu.
Sby,
19 Oktober 2025
NA.