Oleh Noor Aidlon
A |
ku masih terus
berusaha mengumpulkan harta bukan karena aku mencintainya, tetapi agar aku
dapat memanfaatkannya.
Kalimat itu diucapkan oleh orang yang sangat kaya pada zamannya, tetapi memilih
hidup sederhana. Orang yang tidak ragu ragu menyumbangkan separo hartanya untuk
kebaikan, tetapi tidak pernah takut jatuh melarat. Dia adalah Abu Bakar Ash
Shiddiq. Sahabat utama Nabi Muhammad.
Kalimat itu saya temukan dalam buku berjudul Zaad, karya Islam Jamal yang sudah
di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dunia di Tanganku bukan
di Hatiku.
Buku ini termasuk tipis hanya terdiri dari 170 halaman dengan 10 judul tulisan. Judul pertama menceritakan turning point
penulisnya terhadap kehidupan dunia.
Sejak kecil. Islam Jamal dan mungkin juga kita semua selalu mendapat cerita
bahwa orang orang sholeh terdahulu hidupnya dipenuhi dengan kesederhanaan. Hidup tirakat. Bahkan cenderung serba kekurangan. Termasuk Nabi kita. Kita masih ingat
bagaimana Nabi diceritakan mengganjal perutnya dengan batu agar tidak merasakan lapar setelah beberapa saat tidak ada satu makananpun yang masuk ke dalam
perut beliau. Bukan karena diet, tapi karena memang tidak ada yang dimakan.
Cerita cerita tersebut kemudian membentuk opini dalam fikiran bahwa untuk
menjadi orang sholeh harus hidup miskin.
Sampai suatu saat, Islam Jamal ini menemukan sebuah hadis yang isinya Nabi berdoa kepada Allah, memohon perlindungan dari kekufuran dan kefakiran ( kemiskinan ). Pikirannya kemudian berubah. Nabi saja minta perlindungan agar tidak hidup miskin. Nabi mendorong umatnya untuk tidak jatuh miskin, karena kemiskinan mendekatkan diri pada kekafiran.
Apalagi setelah Islam Jamal menemukan sejarah, bahwa ketika menikahi Siti Khadijah, Nabi memberikan mas kawin yang sangat banyak. Mas kawin berupa 20 ekor unta merah dan beberapa keping emas yang diperkirakan nilainya tidak kurang dari Rp 1 Milyar. Ternyata Nabi sangat kaya.
Bahkan kemudian dia mendapati satu hadis lagi. Hadis mengenai 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Ternyata 6 diantara 10 sahabat itu adalah orang yang paling kaya pada jamannya. Jadi kekayaan bukannya penghalang masuk surga. Tetapi bisa dijadikan kendaraan untuk masuk surga.
Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, guru Imam Syafii pernah menuturkan seperti ini. Lebih baik harta kekayaan berada di tangan orang sholeh dibanding di tangan orang Fasik.
Harta kekayaan yang berada di tangan orang Fasik akan dipergunakan untuk berbuat maksiat atau membangun tempat kemaksiatan. Sedangkan harta kekayaan yang berada di tangan orang sholeh akan dipergunakan untuk membangun tempat ibadah atau dipergunakan untuk berbuat kebajikan. Yang manfaatnya bisa dinikmati orang banyak.
Saya teringat ucapan teman saya 15 tahun yang lalu. Dalam perjalanan pulang dari kantor, saya telpon teman saya. Saat itu sekitar jam 9 malam. Dia masih menemui calon clientnya. Dengan berseloroh saya bilang : kekayaaanmu itu tidak habis untuk 7 turunan, jam segini koq masih kerja. Dia kemudian menjawab dengan berseloroh juga: Yang penting bukan cari uangnya, tapi untuk apa uangnya. Seloroh tapi penuh makna. Bagi yang mau merenungkan.
Yang kami kuatirkan bukan bisnis kami itu sendiri, tapi bagaimana nasib para karyawan yang jumlahnya ribuan orang itu. Dan bagaimana nasib anak anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan.
Bagi kami, kalau bisnis berhenti, kami masih bisa bertahan hidup dengan uang tabungan. Tapi para karyawan yang tidak mempunyai tabungan. Atau bagi anak muda yang belum mendapatkan pekerjaan.
Kalimat itu dilontarkan oleh beberapa pebisnis top Indonesia beberapa tahun lalu, ketika menghadapi ketidak pastian iklim berbisnis.
Ternyata itulah yang dikuatirkan oleh mereka yang sudah berhasil dalam bisnis yang juga mempunyai kematangan jiwa. Itulah yang membedakan antara orang yang sudah merasa kaya dan orang yang masih ingin kaya.
Islam Jamal juga menekankan, sebetulnya manusia itu diciptakan dengan default kaya, dengan DNA kaya. Bukankah Tuhan memerintahkan manusia untuk banyak bersedekah. Sedekah hanya bisa dilakukan oleh orang yang punya. Semakin banyak bersedekah semakin baik. Dan banyak sedekah hanya bisa dilakukan oleh orang yang punya banyak.
Dia juga menambahkan. Kalau sampai ada rezeki yang seret, bisa dipastikan ada penghalang rezeki yang menempel. Ibarat saluran air yang buntu karena tersumbat kotoran. Kotoran itu harus dihilangkan dengan cara dibersihkan.
Demikian juga dengan penghalang rezeki. Harus dihilangkan dan dibersihkan, agar jalannya lancar.
Penghalang rezeki itu bisa berupa kewajiban yang belum terlunasi. Baik kewajiban kepada Tuhan maupun kepada manusia. Termasuk kewajiban berbakti kepada orang tua dan kewajiban kepada keluarga.
Jangan pernah melupakan dua bidadari, kata Ippho Santoso dalam buku 7 keajaiban rezeki. Dua bidadari itu adalah Ibu cerminan orang tua dan Istri cerminan keluarga. Keduanya adalah pembuka pintu rezeki. Pembuka kekayaan.
Carilah kekayaan sebanyak mungkin tanpa melalaikan hak Tuhan dan hak orang lain. Berbuat baiklah pada orang lain. Karena sesungguhnya orang yang paling baik adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Kekayaan yang baik adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Kalau sudah kaya. Kalau sudah banyak harta. Letakkanlah harta itu cukup di tanganmu saja. Jangan dihatimu. Karena bisa jadi hatimu nanti ikut tergores, ketika mobilmu kena gores.
Panjenengan pernah mengalaminya ?
#NA
#090725
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar