16 Mei 2020

KENDI




I
ni cerita yang saya peroleh. Ada seseorang yang mau membangun mushola. Lokasinya di depan rumahnya.  Tidak begitu besar. Tapi juga tidak kecil. Cukupan luasnya.  Dia berpesan khusus ke juru gambarnya.  Kamar mandinya agar dibuat yang besar. Dan terasnya juga dibuat yang lebar.  Biar para pedagang keliling yang mampir. Para musafir yang mampir. Atau siapa saja yang mampir. Bisa mandi terlebih dahulu.  Biar segar. Dan kemudian  bisa beristirahat di teras. Bisa tidur tiduran.  Lebih baik  mereka beristirahat di Mushola ini  daripada di pinggir jalan. Atau tempat lain yang kurang aman.

Mulia sekali hatinya. Dia membantu menyiapkan fasilitas. Tempat untuk melepas lelah bagi para musafir. Dia faham betul lingkungannya.  Disitu memang banyak pedagang keliling yang lewat. Yang berjalan kaki. Yang memikul dagangannya, berpanas panasan. Terutama di waktu dhuhur.  Keringat mengujur di seluruh tubuhnya. Membuat kulit coklatnya bertambah mengkilat.  Kasihan. Dia perlu tempat istirahat. Setelah menegakkan sholatnya.  Begitupun  bagi para musafir yang bersepeda.

Dia ingin membantu memberikan fasilitas untuk sholat. Dan juga istirahat. Dia ingin membantu kepada mereka yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Tidak mengenalnya. Bukan membantu kepada mereka yang dimaui.  Inilah bentuk keikhlasan yang paling dalam. Jauh dari godaan ingin pamer.

Barangkali itulah sebabnya. Masjid masjid lama kita. Yang dibangun oleh generasi sebelum kita. Selalu menyiapkan teras yang luas. Satu pelajaran yang tidak pernah terucap.  Pelajaran tentang keikhlasan. 

Begitu juga dengan tradisi menyiapkan minuman dalam  KENDI. Zaman saya kecil dulu. Banyak rumah rumah yang menyiapkan kendi. Berisi air. Diletakkan di pagar. Dekat dengan jalan. Agar siapapun yang lewat. Siapapun yang merasa haus. Bisa meminum air kendi itu. Gratis. Dan tidak perlu minta ijin. Memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan. Memberikan bantuan tanpa merendahkan harga diri yang dibantu.

Bukan seperti cerita ini. Yang akhir akhir ini terjadi. Ada sebagian dari masyarakat.   Ketika mau membagikan bantuannya.  Mereka mengundang wartawan. Mengajak juru foto.  Yang kemudian di sebarkan melalui media. Kalau pejabat penting disebarkan dalam berita televisi dan surat kabar. Kalau level masyarakat biasa di sebarkan melalui media sosial. Biar di ketahui banyak orang. Mereka tidak sadar akan perasaan yang menerima bantuan.

Saya merasa dibantu tapi  saya juga meras terhina. Dihadapan banyak orang. Begitu kira kira jeritan penerima bantuan.

Tapi kini. Saat wabah covid 19 merebak. Masih ada sedikit masyarakat. Mempraktekkan  kembali pelajaran leluhur kita. Memberikan bantuan dengan tulus ihlas.   Memberi bantuan tanpa ingin tahu siapa yang bakal menerimanya.  Mereka menyiapkan bantuan.  Biasanya paket sembako. Ada juga yang berupa mie instant. Digantungkan di pagar rumah. Bisa diambil oleh siapapun. Yang merasa membutuhkan. Tanpa merasa terhina. Itulah local wisdom. Pelajaran dari leluhur  kita. Yang tak pernah terucap. Tapi penuh makna.

#NA
#KSB260420
#belajar_ihlas
#dirumahAja_bila_tak_ada_perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar