27 Mei 2025

LULUS 70


Wisuda adalah Pintu Gerbang Tantangan ...

Oleh Noor Aidlon

T

ukang yang terkenal juara itu merasa kesedihan. Menyesal banget. Wajahnya yang biasanya ceria, kini kusut tidak ada sinar gairah sama sekali. Dia duduk termenung di atas gragal yang berserakan. Sambil menundukkan kepalanya. Lama sekali. Segelas kopi yang dibeli dari starling tidak disentuhnya sama sekali. Dibiarkan mendingin, sampai tidak berasap lagi.

Starling - starbucks keliling sebutan untuk kopi yang dijajakan keliling dengan sepeda ontel atau sepeda motor dari lokasi proyek satu ke proyek lainnya. Hanya berbekal air panas di dalam termos dan kopi sachetan. Merk kopinya bisa bermacam macam. Pun jenisnya. Ada yang Coffee mix. Ada juga yang kopi hitam biasa. Starling sangat ditunggu kehadirannya oleh para pekerja proyek. Terutama saat istirahat siang.

Tukang sang juara itu menyesal, mengapa dia bisa salah pasang satu batu bata di antara ratusan bata yang telah dipasangnya. Mengapa dia baru menyadari kesalahan itu setelah ratusan bata dipasang diantara satu bata itu. Mengapa tidak ada seorangpun yang memberitahu kesalahan itu sebelum ratusan bata lain menumpukinya. Dan banyak pertanyaan mengapa mengapa lainnya yang tidak hanya tidak ada jawabannya, tetapi juga bisa menimbulkan kekecewaan demi kekecewaan.

Untungnya Pak Mandor cukup peka dan perhatian kepada para tukangnya. Disamperinnya tukang sang juara. Diajak berbicara. Ngobrol apa saja. Kesana kemari. Dan akhirnya tahulah Pak Mandor apa yang sedang dirasakan oleh anak buahnya itu.

Dimintanya tukang sang juara mengantarkan dan menunjukkan sebuah bata yang mengganggu pikirannya. Yang katanya keliru pasang itu.

Bata yang mana yang salah pasang, tanya Pak Mandor. Itu yang ditengah, kata tukang sang juara sambil mengarahkan jari telunjuknya. Yang mana, tanya Pak Mandor lagi, karena dia masih belum mengetahui letak bata yang katanya salah pasang. Akhirnya tukang itu menyentuh bata yang dianggapnya salah pasang dengan telapak tangan kanannya.

Pak Mandor geleng geleng kepala. Ini tidak kelihatan salahnya. Wajar saja, katanya. Kemudian sambil menyentuh bahu Pak tukang, Pak Mandor memberi nasehat : saya kasih tahu kamu ya. Dari ratusan batu bata yang kamu pasang menjadi hamparan dinding besar ini, hanya satu yang salah. Itupun menurut anggapanmu saja. Dan satu bata yang salah ini tidak merusak kekuatan dinding. Pun kerapihan susunannya, kata Pak Mandor sambil memukul dinding sekitar bata yang salah pasang itu. 

Jangan kau siksa dirimu dengan hal sepele yang kamu anggap salah itu. Cobalah lihat karyamu yang lain. Ratusan batu bata telah terpasang dengan sempurna. Mengapa itu yang tidak menjadi perhatianmu. Lanjut pak Mandor.

Situasi yang hampir mirip saya alami jumat malam beberapa waktu yang lalu. Gigi saya yang sedang dalam proses perawatan, yang sudah 4 kali bolak balik ke dokter gigi itu tiba tiba pecah.  Tidak terasa sakit. Hanya sedikit mengganggu bila dipakai mengunyah. Rasa penyesalan dan kecewa muncul. 

Kesal karena gigi yang mestinya bisa dipertahankan, kini terpaksa harus dicabut. Perawatan yang selama hampir dua bulan kami upayakan, hilang sinar begitu saja.

Pertanyaan dengan kata tanya mengapa banyak berseliweran dalam fikiran saya. Yang semua menyalahkan diri sendiri, mengapa tidak hati hati mengunyah. Mengapa tidak menggunakan gigi sebelah kanan saja. Dan banyak kata tanya mengapa lainnya yang menghujani fikiran.

Dan juga menyalahkan dokter yang merawat.  Mengapa tidak mengingatkan pasiennya. Mengapa tidak menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dan banyak kata tanya mengapa yang lainnya. Yang kalau dilanjutkan, bisa bisa menyalahkan takdir. Menyalahkan Tuhan.

Kemudian saya teringat kisah tukang batu itu. Saya ambil nafas dalam-dalam, dan beristighfar. Saya sadarkan diri sendiri. Bukankah saya masih diberikan anugerah yang banyak. Masih bisa berjalan, masih bisa melihat, masih bisa bernafas dengan baik. Bahkan masih bisa menikmati lezatnya makanan, meskipun harus dikunyah di gigi sebelah kanan saja.

Bukankah saya masih bisa menikmati bacaan dan menikmati video Gus Baha, Ustad Adi Hidayat dan Simon sinek dengan sempurna. Bukankah saya masih diberikan kemampuan untuk berobat. Dan banyak kata bukankah bukankah yang lainnya yang saya jejalkan dalam fikiran.

Secara akal logika semua itu benar dan mudah diterima. Namun betapa sulitnya meyakinkan hati ini. Bukankah rasa itu berasal dari dalam hati. Tapi fikiran juga bisa sebagai guide untuk mengajari hati. Fikiran perlu logika. Hati perlu renungan.

Saya gerojok fikiran saya dengan kalimat bukankah, bukankah. Dengan jumlah yang banyak sekali. Kata itu untuk mengusir dan menggantikan kata mengapa. Kata itu untuk mengusir rasa kufur nikmat dan menggantikan dengan rasa syukur nikmat. Kata itu untuk mengusir rasa penyesalan dan menggantikan dengan rasa penuh anugerah. 

Agama mengajarkan, setiap kejelekan harus dilawan dan ditukar dengan kebaikan. Air putih dalam gelas akan menjadi hitam bila terkena tetetas tinta hitam.  Namun akan menjadi putih lagi, bila digerojok dengan air putih yang banyak.

Memang, sering kali satu kesalahan kecil memicu overthinking. Memicu kekecewaan yang bisa menghambat Langkah maju kedepan. Padahal kalau difikir jernih, kesalahan itu mempunyai hikmah. Paling tidak mengingatkan untuk selalu berhati hati. Mengingatkan kita bahwa kita tidak sempurna. Agar tidak muncul kesombongan.  Agar tetap merasa butuh pertolongan Nya. Lewat doa doa yang dipanjangkan.

Kalau dibalik, mengapa tidak focus saja pada kesuksesan, pada kenikmatan dan anugerah lain yang diterima. Yang bisa mendorong rasa syukur. Mengingatkan atas rahmat dan kasih sayang Nya yang banyak. Mengigatkan atas kemurahan Allah.

Bukankah kita manusia biasa, yang tidak luput dari salah. Bukankah untuk lulus ujian tidak harus berhasil mendapatkan nilai 100. Tidak harus berhasil mengerjakan semua soal dengan benar. 

Setiap sekolah menerapkan passing grade. Dan tidak pernah ada passing grade dengan nilai 100.

Hanya dibutuhkan nilai 70 untuk lulus. Bahkan ada yang memasang passing grade 60 atau bahkan 55 untuk bisa lulus. Artinya anda hanya dituntut mengerjakan 70% soal dengan benar untuk bisa dinyatakan lulus. Dan berhak mendapatkan ijasah asli.

Entah kalau IP nya tidak sampai 2. 

Dan itu pasti bukan panjenengan !!!

#NA

#270525

 

 

02 Mei 2025

KEBAIKAN MANA

 

 40 Kata-Kata Bersyukur Dikelilingi ...

 Oleh Noor Aidlon

D

ikisahkan.  Suatu hari sorang anak muda mengundang Pak Tua – yang dikenal sholeh - untuk  datang ke rumahnya.  Ada sesuatu yang ingin dibicarakan, katanya.

 Sesuai waktu yang disepakati,  datanglah Pak Tua ke rumahnya. Dilihatnya anak muda sedang menyiram tanaman di pekarangan depan rumah yang rimbun. Didekati anak muda itu dan diberikan salam. 

Namun anak muda itu diam. Diulanginya salamnya. Anak muda itu tetap tidak menjawab. Dia masih asyik menyiram tanaman. Pada salam ketiga, anak muda itu baru menjawab dengan tetap asyik menyiram tanaman, tanpa menoleh.

Pak Tua dibiarkan berdiri di pekarangan.  Tidak dipersilakan duduk. Pun tidak diajak berbicara. Seakan akan tidak ada siapa siapa. Malah kemudian ditinggal pergi naik motor tanpa berucap sepatah katapun

Setengah jam kemudian pemuda itu pulang kembali. Dilihat Pak Tua itu duduk di teras rumahnya. Pemuda itu kemudian menghampirinya dan menyuruhnya pulang tanpa diberi apa apa. Hanya ucapan :  maaf Pak, saya lupa tadi mau minta tolong apa ya. Nanti kalau ingat saya hubungi Bapak lagi.

Dengan tersenyum, Pak Tua sholeh ini bilang : Oh tidak apa apa anak muda. Lalu dia pamit sembari mengucapkan salam.

Kejadian seperti ini berulang tiga kali dalam waktu 2 pekan. Namun Pak Tua ini tidak pernah marah.  Sikapnya masih seperti biasa, ramah dan penuh senyum. Tidak pernah menunjukkan sikap kecewa. Apalagi marah.

Minggu berikutnya, gantian pemuda ini berkunjung ke rumah Pak Tua. Dia diterima dengan baik. Layaknya tamu yang dihormati. Diberikan minum dan makanan.  Diajak berbicara dengan riang. Ditanya kabarnya, didoakan hidupnya. Diberikan cerita cerita ringan yang jenaka, tanpa sedikitnya menyinggung peristiwa sebelumnya.

Anak muda ini tambah penasaran. Sudah dibuatnya jengkel selama 2 pekan, mengapa sekarang Pak Tua ini malah berbuat sangat baik kepadanya. Memberikan pelayanan dan penghormatan yang begitu baik.

Akhirnya anak muda ini bertanya, mengutarakan isi hatinya kepada Pak Tua.  Mengapa Bapak tidak kecewa, tidak marah kepada saya - yang sudah tiga kali mengundang bapak ke rumah, saya biarkan, saya acuhkan. Dan sekarang malah Bapak menerima saya dengan penuh penghormatan seperti ini.

Dengan mengelus jenggotnya, Pak Tua kemudian berkata. Anak muda, saya datang ke rumahmu karena kamu mengundangku. Bagi saya, datang memenuhi undangan itu adalah perintah Allah, Tuhanku.  Dan saya sangat senang mematuhi perintah Allah ini.  Saya tidak pernah mempedulikan perilaku orang lain kepada saya. Saya tidak ada kepentingan dengan itu. Kepentingan saya hanya dengan Allah. Jadi santai saja. Tutur Pak Tua sambil terkekeh kekeh yang membuat anak muda  ikut tersenyum.

Pak Tua telah menunjuk kematangan dirinya. Dia sudah tidak lagi didekte oleh lingkungan dan hukum sosial. Dia memegang prinsip dan nilai luhur yang diyakininya.

Orang yang reaktif yang merespond sesuatu tanpa pertimbangan bisa dipastikan tidak mempunyai kematangan jiwa. Dia dikendalikan oleh hawa nafsu. Merespondnyapun berdasarkan hawa nafsu. Dia di dalam kendali, bukan yang mengendalikan.

Steven Covey menjelaskan, orang yang mempunyai kematangan jiwa akan merespond sesuatu dengan penuh pertimbangan.  Tidak asal merespond. Mereka sadar betul, respond yang dilakukan akan berdampak panjang. Itulah yang disebutnya sebagai tindakan proaktif. Bukan reaktif.

Mereka yang sudah matang jiwanya, selalu bertindak dengan penuh pertimbangan. Dan itu  sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan nilai luhur yang dianutnya.

Bagi Pak Tua, apapun yang dilakukan adalah dalam rangka memenuhi perintah Tuhan. Dalam rangka ibadah dan ketaatan. Itulah yang diyakininya. Itu yang selalu menjadi pertimbangannya.  Dia tidak lagi berada dalam tingkatan dikendalikan, namun sudah masuk dalam tingkatan mengendalikan. Dia tidak lagi didekte oleh situasi dan hukum sosial, tapi dia sudah masuk ke tingkat mengendalikan diri dalam ketaatan kepada sang pencipta.

Ini yang bisa menjelaskan mengapa Nabi Muhammad yang setiap hari dimaki maki oleh orang buta, namun beliau tetap berbuat baik padanya. Bahkan setiap hari masih datang ke rumah untuk memberi makan dan menyuapi orang buta yang memaki maki beliau itu. Perbuatan Nabi didasari pada ketaatan kepada Tuhan. Bukan didekte oleh hukum sosial.

Dalam sirah nabawiyah banyak dijumpai bahwa Nabi tidak hanya baik kepada Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya. Tapi Nabi juga tetap berbuat baik kepada orang yang membenci dan merendahkan beliau.

Bagi mereka yang didekte oleh hukum sosial akan berbuat baik hanya kepada orang yang telah berbuat baik kepada mereka. Ini adil, katanya. Padahal itu hanya sebatas balas budi saja. Yang tunduk pada hukum sosial. Hukum balas budi.

Hukum sosial mengajarkan, menjenguk orang sakit itu baik. Penjahat juga sering menjenguk temannya sesama penjahat yang sedang sakit.  Harapan yang menjadi pertimbangan adalah balas budi. Biar kelak kalau dia mengalami kesulitan akan dibantu balik.

Apakah hal itu sama nilainya dengan orang yang menjenguk orang sakit karena perintah Tuhan dan Nabinya ?

Panjenengan menganut prinsip yang mana ? ( NA, 020525 )