Oleh Noor Aidlon
D |
ikisahkan. Suatu hari sorang anak muda mengundang Pak Tua – yang dikenal sholeh - untuk datang ke rumahnya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan, katanya.
Sesuai waktu yang disepakati, datanglah Pak Tua ke rumahnya. Dilihatnya anak muda sedang menyiram tanaman di pekarangan depan rumah yang rimbun. Didekati anak muda itu dan diberikan salam.
Namun anak muda itu diam. Diulanginya salamnya. Anak muda itu tetap tidak menjawab. Dia masih asyik menyiram tanaman. Pada salam ketiga, anak muda itu baru menjawab dengan tetap asyik menyiram tanaman, tanpa menoleh.
Pak
Tua dibiarkan berdiri di pekarangan.
Tidak dipersilakan duduk. Pun tidak diajak berbicara. Seakan akan tidak ada siapa siapa. Malah kemudian ditinggal pergi naik motor
tanpa berucap sepatah katapun
Setengah
jam kemudian pemuda itu pulang kembali. Dilihat Pak Tua itu duduk di
teras rumahnya. Pemuda itu kemudian menghampirinya dan menyuruhnya pulang tanpa
diberi apa apa. Hanya ucapan : maaf Pak, saya lupa tadi mau minta tolong
apa ya. Nanti kalau ingat saya hubungi Bapak lagi.
Dengan
tersenyum, Pak Tua sholeh ini bilang : Oh tidak apa apa anak muda. Lalu dia
pamit sembari mengucapkan salam.
Kejadian
seperti ini berulang tiga kali dalam waktu 2 pekan. Namun Pak Tua ini tidak
pernah marah. Sikapnya masih seperti biasa, ramah dan penuh senyum. Tidak
pernah menunjukkan sikap kecewa. Apalagi marah.
Minggu
berikutnya, gantian pemuda ini berkunjung ke rumah Pak Tua. Dia diterima dengan baik.
Layaknya tamu yang dihormati. Diberikan minum dan makanan. Diajak
berbicara dengan riang. Ditanya kabarnya, didoakan hidupnya. Diberikan
cerita cerita ringan yang jenaka, tanpa sedikitnya menyinggung peristiwa sebelumnya.
Anak muda ini tambah penasaran. Sudah dibuatnya jengkel selama 2 pekan, mengapa
sekarang Pak Tua ini malah berbuat sangat baik kepadanya. Memberikan pelayanan
dan penghormatan yang begitu baik.
Akhirnya anak muda ini bertanya, mengutarakan isi hatinya kepada Pak Tua. Mengapa
Bapak tidak kecewa, tidak marah kepada saya - yang sudah tiga kali mengundang bapak
ke rumah, saya biarkan, saya acuhkan. Dan sekarang malah Bapak
menerima saya dengan penuh penghormatan seperti ini.
Dengan
mengelus jenggotnya, Pak Tua kemudian berkata. Anak muda, saya datang ke
rumahmu karena kamu mengundangku. Bagi saya, datang memenuhi undangan itu
adalah perintah Allah, Tuhanku. Dan saya sangat senang mematuhi perintah
Allah ini. Saya tidak pernah mempedulikan perilaku orang lain kepada saya. Saya tidak ada kepentingan dengan
itu. Kepentingan saya hanya dengan Allah. Jadi santai saja. Tutur Pak Tua
sambil terkekeh kekeh yang membuat anak muda ikut tersenyum.
Pak
Tua telah menunjuk kematangan dirinya. Dia sudah tidak lagi didekte oleh
lingkungan dan hukum sosial. Dia memegang prinsip dan nilai luhur yang
diyakininya.
Orang yang reaktif yang merespond sesuatu tanpa pertimbangan bisa dipastikan tidak mempunyai kematangan jiwa. Dia dikendalikan oleh hawa nafsu. Merespondnyapun berdasarkan hawa nafsu. Dia di dalam kendali, bukan yang mengendalikan.
Steven Covey menjelaskan, orang yang mempunyai kematangan jiwa akan merespond sesuatu dengan penuh pertimbangan. Tidak asal merespond. Mereka sadar betul, respond yang dilakukan akan berdampak panjang. Itulah yang disebutnya sebagai tindakan proaktif. Bukan reaktif.
Mereka
yang sudah matang jiwanya, selalu bertindak dengan penuh pertimbangan. Dan itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan
nilai luhur yang dianutnya.
Bagi Pak Tua, apapun yang dilakukan adalah dalam rangka memenuhi perintah Tuhan. Dalam rangka ibadah dan ketaatan. Itulah yang diyakininya. Itu yang selalu menjadi pertimbangannya. Dia tidak lagi berada dalam tingkatan dikendalikan, namun sudah masuk dalam tingkatan mengendalikan. Dia tidak lagi didekte oleh situasi dan hukum sosial, tapi dia sudah masuk ke tingkat mengendalikan diri dalam ketaatan kepada sang pencipta.
Ini yang bisa menjelaskan mengapa Nabi Muhammad yang setiap hari dimaki maki oleh orang buta, namun beliau tetap berbuat baik padanya. Bahkan setiap hari masih datang ke rumah untuk memberi makan dan menyuapi orang buta yang memaki maki beliau itu. Perbuatan Nabi didasari pada ketaatan kepada Tuhan. Bukan didekte oleh hukum sosial.
Dalam
sirah nabawiyah banyak dijumpai bahwa Nabi tidak hanya baik kepada Abu Bakar,
Umar dan sahabat lainnya. Tapi Nabi juga tetap berbuat baik kepada orang yang
membenci dan merendahkan beliau.
Bagi mereka yang didekte oleh hukum sosial akan berbuat baik hanya kepada orang yang telah berbuat baik kepada mereka. Ini adil, katanya. Padahal itu hanya sebatas balas budi saja. Yang tunduk pada hukum sosial. Hukum balas budi.
Hukum sosial mengajarkan, menjenguk orang sakit itu baik. Penjahat juga sering menjenguk temannya sesama penjahat yang sedang sakit. Harapan yang menjadi pertimbangan adalah balas budi. Biar kelak kalau dia mengalami kesulitan akan dibantu balik.
Apakah
hal itu sama nilainya dengan orang yang menjenguk orang sakit karena perintah
Tuhan dan Nabinya ?
Panjenengan menganut prinsip yang mana ? ( NA, 020525 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar